Jelang peringatan Hari Guru, cukup banyak perbincangan di media sosial yang menyoal guru. Selain masalah kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme guru, juga banyak perbicangan terkait dengan pemberian hadiah atau cinderamata untuk guru. Ada yang pro maupun yang kontra. Kalau saya perhatikan dari diskusi di media sosial, justru yang ”antusias” membahas masalah ini bukan guru itu sendiri, tetapi orang tua atau orang yang bukan berprofesi sebagai guru. Bahkan, pada diskusi tersebut, tanggapan miring dan nyinyir terhadap guru sudah muncul karena soal pemberian hadiah saat hari guru.
Seingat saya, zaman saya belajar di SMP tahun 90-an, setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru atau juga Hari PGRI. Saat itu, guru dan siswa melaksanakan upacara di alun-alun. Saat upacara, bagian yang paling saya sukai adalah pada saat paduan suara menyanyikan lagu ”Hymne guru” dan Lagu ”Terima Kasih Guruku”. Lirik-lirik lagunya terasa menyerap di hati sanubari. Setelah upacara, ya selesai. Tidak ada karangan bunga, kue, atau cokelat untuk guru. Tetapi saat ini kondisinya berbeda, jelang hari guru, justru profesi guru banyak dibahas dikaitkan dengan masalah hadiah untuk guru. Dan sekali lagi, yang banyak membahasnya justru orang tua, bukan kalangan guru.
Di sekolah ada komite sekolah, paguyuban orang tua, atau koordinator kelas (korlas). Pengurus paguyuban atau korlas yang biasanya menginisiasi adanya pemberian hadiah untuk wali kelas. Orang tua/wali dimintai iuran untuk pengadaan hadiah untuk wali kelas. Hal ini yang kadang memicu polemik. Ada orang tua yang sukarela membayar iuran, tapi ada juga orang tua yang keberatan membayar (walau mampu), dan ada orang tua yang kurang mampu membayar.
Orang tua yang keberatan membayar atau yang tidak mampu membayar iuran khawatir “ditandai” oleh pengurus atau orang tua yang membayar. Orang tua yang keberatan membayar pun akhirnya terpaksa membayar. Lalu, curhat di media sosial dengan harapan ada yang membela, utamanya dari orang tua atau pihak yang berpikiran sama dengannya. Hal ini menyebabkan polemik soal hadiah untuk guru semakin melebar.
Selain orang tua, ada juga murid yang berinisiatif memberikan hadiah kepada wali kelasnya. Wali kelas memang biasanya menjadi “langganan” hadiah baik pada saat akhir tahun maupun pada saat peringatan hari guru. Di kalangan guru, hal ini pun kadang menjadi kecemburuan. Seolah hanya wali kelas yang berjasa kepada murid, sedangkan guru yang tidak menjadi wali kelas diabaikan. Tidak mendapatkan hadiah dari murid.
Bagi pihak yang setuju dengan adanya hadiah bagi guru, mereka berpandangan bahwa hadiah yang diberikan sebagai bentuk apresiasi atas jasa dan dedikasi guru, sedangkan bagi pihak yang kurang setuju terhadap pemberian hadiah kepada guru, mereka mengaitkannya dengan soal etika, bahkan mengaitkannya dengan gratifikasi yang berpotensi melanggar hukum dan memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan dan perlakuan diskriminatif guru terhadap anak dari orang tua yang memberikan hadiah dan yang tidak memberikan hadiah terhadap guru.
Secara manusiawi, setiap orang, termasuk guru pasti senang mendapatkan hadiah. Walau demikian, saya yakin, kalangan guru sebenarnya tidak pernah mempersoalkan hadiah saat peringatan hari guru. Bagi guru, tanggal 25 November sebagai hari bersejarah dan bermakna bagi profesi mereka. Tidak ada harapan lebih dari guru dari orang tua atau murid-muridnya terkait hadiah. Kalau pun berharap hadiah, para guru berharap “hadiah” dari pemerintah (guru ASN PNS dan P3K) atau dari pengelola yayasan (GTY/guru honorer), utamanya terkait dengan kesejahteraan, kejelasan nasib, perlindungan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berpihak kepada guru.
Bagi orang tua atau siapa pun yang memberikan hadiah terhadap guru, luruskanlah niat, jangan sampai hadiah yang diberikan kepada guru menjadikan profesi guru sebagai tertuduh bahwa guru ingin diberi hadiah. Kalau sekiranya pemberian hadiah bagi guru akan lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya, sebaiknya jangan dipaksakan. Jangan sampai guru yang tidak tahu menahu urusan hadiah yang sebenarnya diinisiasi oleh orang tua/wali namaya terbawa-bawa menjadi jelek.
Pihak guru atau sekolah pun sebaiknya menghindari untuk menyampaikan pernyataan yang tendensius atau memancing-mancing baik kepada murid maupun kepada orang tua/ wali terkait pemberian hadiah supaya tidak menjadi miskomunikasi antara kedua belah pihak dan pada akhirnya merugikan nama baik guru atau sekolah.
Kalau pun mau ada syukuran hari guru di sekolah, sebaiknya difasilitasi oleh sekolah sesuai dengan kemampuan masing-masing sekolah. Menghindari untuk meminta partisipasi dari orang tua/wali agar tidak memunculkan polemik dan prasangka buruk. Walau demikian, jika ada pihak orang tua ingin berpartisipasi, sekolah bisa mempertimbangkannya. Asal tidak mengikat dan tidak berimplikasi terhadap adanya konflik kepentingan. Selain itu, bisa juga sekolah mengajak orang tua/wali dan murid untuk merayakan hari guru bersama-sama secara sederhana. Misalnya melalui tulisan/video ucapan selamat, doa, atau nyanyian.
Saya yakin, bagi seorang guru, hakikat sebuah kebahagiaan baginya bukanlah hadiah dalam bentuk materi, tetapi saat murid-muridnya bisa memahami materi yang disampaikan oleh guru, berbudi pekerti luhur, dan meraih kesuksesan di masa depan. Di momentum peringatan Hari Guru, berikanlah hadiah dalam bentuk doa-doa terbaik bagi mereka. Mari doakan para guru-guru kita agar senantiasa sehat, panjang umur, terlindungi, dan terjamin kesejahteraannya. Selamat Hari Guru Nasional.
BAGAIMANA IMPLEMENTASI 3 PILAR DEEP LEARNING DALAM PEMBELAJARAN?
Oleh : IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Istilah Deep Learning menjadi trending topic pasca Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan hal tersebut dalam sebuah dialog singkat. Ibarat sebuah bola salju, istilah deep learning semakin menjadi diskursus di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Agar tidak terjadi miskonsepsi, pak Mu’ti menyampaikan bahwa deep learning bukanlah sebuah kurikulum, apalagi akan menjadi pengganti kurikulum merdeka, tetapi deep learning merupakan pendekatan pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami materi pelajaran.
Konsep Deep Learning diperkenalkan oleh Marton dan Saljo Dario Swedia sejak tahun 1976 dan terus berkembang sampai dengan saat ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) saat ini banyak didukung oleh deep learning. Deep learning adalah cabang dari kecerdasan buatan (AI) dan machine learning yang memanfaatkan neural network multiple layer untuk menyelesaikan tugas dengan ketepatan tinggi. (Pengantar Dasar Deep Learning karya Rometdo Muzawi, 2024:29). Penerapan deep learning pada komputer memungkinkan untuk mengolah data serupa dengan cara kerja otak manusia.
Deep learning ditopang oleh tiga pilar, yaitu mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Mindful learning fokusnya adalah pada mengaktifkan, membangun, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Peserta didik distimulasi dengan masalah-masalah yang bersifat kontekstual dan diarahkan untuk menyelesaikan masalah secara kreatif.
Intinya, pada mindful learning, otak atau pikiran peserta didik didik diasah agar pengetahuan atau wawasannya bertambah. Daya kritis dan analitisnya semakin tajam, dan kemampuan menyelesaikan masalah semakin berkembang melalui pengalaman, eksperimen, atau praktik langsung. Rasa ingin tahu peserta didik dipancing melalui pembelajaran inquiry, discovery, eksperimen, pembelajaran berbasis masalah, atau pembelajaran berbasis proyek.
Proses pembelajaran dilakukan melalui penguatan kemampuan kognitif, mulai dari kognitif tingkat rendah hingga kognitif tingkat tinggi. Sebagaimana yang tercantum pada teori Bloom, kemampuan kognitif terdiri dari 6 (enam) level, yaitu C-1 mengetahui, C-2 memahami, C-3 menerapkan, C-4 menganalisis, C-5 mengevaluasi, dan C-6 mencipta. C-1 s.d. C3 dimasukkan ke dalam kategori kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS), sedangkan C-4 s.d. C-6 dimasukkan ke dalam kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS).
Ruang lingkup aktivitas yang dilakukan pada mindful learning misalnya; Apa materi yang saya pelajari? Untuk apa saya mempelajari materi tersebut? Bagaimana cara saya mempelajari/ menguasai materi yang saya pelajari? Apa indikator dan apa alat ukur bahwa saya telah menguasai materi yang saya pelajari? Apa inti atau simpulan yang saya dapatkan dari materi yang saya pelajari? Dan bagaimana saya mempelajari lebih lanjut untuk meningkatkan/memperkaya pemahaman materi tsb?, dan sebagainya.
Meaningful learning pada dasarnya pembelajaran harus memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik. Bukan hanya asal terlaksananya pembelajaran, bukan hanya asal materi tersampaikan, dan bukan asal materi habis. Pengalaman belajar yang menyenangkan harus diawali dari guru yang menyenangkan. Bagaimana karakter guru yang menyenangkan? Tentunya guru yang mampu mendesain dan melaksanakan pembelajaran yang membuat siswa antusias dan semangat mengikuti kegiatan belajar. Mengajar adalah seni. Oleh karena itu, strategi dan caranya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Guru diharapkan mengajar secara all out. Berbagai pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik dapat digunakan oleh guru.
Intinya, setelah peserta didik mengalami meaningful learning, mereka dapat membuat sebuah refleksi seperti: apa pelajaran/ pengalaman /hikmah/ makna/ kesan/ inspirasi yang saya dapatkan setelah mempelajari materi tersebut? Lalu apa tindak lanjut yang akan saya lakukan setelah mendapatkan pengalaman belajar?
Joyful learning intinya adalah peserta didik terlibat secara aktif baik fisik (hands on) maupun pikirannya (minds on) selama mengikuti pembelajaran. Masalah yang bersifat kontekstual, strategi dan metode pembelajaran yang menarik, serta stimulus yang tepat dan relevan dengan materi yang dipelajari oleh peserta didik dapat meningkatkan minat dan semangat belajarnya. Selain itu, juga membuat peserta didik merasa senang, sehingga aktivitas belajar begitu mengasyikkan bagi mereka. Waktu belajar selama berjam-jam tidak terasa karena peserta didik merasakan belajar menjadi sebuah ”rekreasi akademik” bagi mereka.
Pertanyaan reflektif untuk mengetahui apakah peserta didik sudah atau belum merasakan joyful learning misalnya; Apakah saya termotivasi dan semangat dalam mempelajari materi tersebut? Apakah saya terlibat secara aktif (hands on dan minds on) selama pembelajaran? Dan apakah pembelajaran yang saya lakukan/ikuti menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi saya?
Implementasi 3 pilar deep learning dalam pembelajaran memerlukan guru yang kreatif, inovatif, dan out of the box. Guru yang mau keluar dari zona nyaman dan mau mencoba hal-hal baru agar pembelajaran benar-benar berpusat kepada peserta didik. Lingkungan pembelajaran yang kondusif, pemanfaatan beragam sumber belajar, dan beragam media ajar juga akan menjadi faktor pendukung pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Hal yang tidak kalah penting adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik juga cukup berpengaruh terhadap terciptakannya pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.
Untuk lebih memperjelas implementasi deep learning dalam pembelajaran, saya gambarkan pada contoh di bawah ini.
Contoh materi : Manfaat air dalam kehidupan.
- Mindful learning
Aktivitas Pembelajaran:
Siswa diperkenalkan konsep air, proses terjadinya hujan, sumber-sumber air, hutan sebagai penyimpanan air, manfaat air dalam kehidupan, penyebab krisis air, dampak jika di bumi tidak ada air, dll.
Dampak:
Peserta didik mengetahui dan memahami konsep air, sumber air, manfaat air, dampak krisis air, cara menghemat air, dll.
- Meaningful learning
Aktivitas Pembelajaran:
Berdasarkan konteks/stimulus (kasus/berita yang disampaikan oleh guru), guru mengajak siswa untuk berdiskusi terkait pentingnya menjaga lingkungan agar air tetap tersedia, bencana banjir yang ditimbulkan oleh air yang tidak terserap oleh tanah, hidup hemat air, manfaat menanam pohon, dll.
Dampak:
Muncul dalam hati peserta didik pemahaman, semangat, kesadaran, dan komitmen untuk memelihara lingkungan untuk melestarikan air, hemat air, dll.
Pemahaman bermakna didapatkan melalui aktivitas berpikir kritis, kontekstual, dan reflektif.
- Joyful learning
Aktivitas Pembelajaran:
Peserta didik praktik membuat proyek alat penjernih air, pembelajaran menggunakan media air, pembelajaran dengan setting alam/lingkungan, dll.
Dampak:
Melalui pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna, peserta didik memahami pentingnya air dalam kehidupan manusia.
Model/Strategi/Metode /Media Pembelajaran:
CTL, STEM, pembelajaran konstruktivisme, pendekatan saintifik, LOTS, HOTS.
Inquiry, discovery, studi kasus, praktik, eksperimen, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, demonstrasi, simulasi, diskusi, ceramah, tanya jawab, dll.
Media Pembelajaran:
Artikel, berita, dokumen, gambar, video, model, atau benda-benda yang relevan dengan materi yang dipelajari.
Demikian gambaran implementasi implementasi 3 pilar deep learning dalam pembelajaran. Contoh di atas dapat diadaptasi dan disesuaikan dengan materi pelajaran masing-masing. Masih juga dapat dikembangkan oleh para guru sesuai dengan kondisi, karakteristik materi pelajaran, karakteristik peserta didik, dan kebutuhan di lapangan. Implementasi pendekatan deep learning merupakan sebuah ikhtiar untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Namun, dibalik apapun pendekatan yang dilakukan, mengajar disertai hati dan passion merupakan hal yang sangat fundamental dalam sebuah pembelajaran yang menyenangkan dan berpihak pada peserta didik. Wallaahu a’lam
MENYOAL DEEP LEARNING
Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Saat ini sedang trending informasi terkait dengan “kurikulum deep learning”. Istilah deep learning muncul saat Mendikdasmen Abdul Mu’ti berbincang-bincang santai dengan sekelompok pemuda atau mahasiswa di sebuah ruangan. Pada video yang beredar di media Tik Tok itu, Pak Mu’ti menjelaskan terkait pengertian dan karakteristik deep learning, mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning sebagai upaya meningkatkan mutu pembelajaran yang digagasnya.
Konsep deep learning sudah muncul sejak tahun 1980-an dan diteliti lebih lanjut seiring berkembangnya teknologi dan informasi tahun 90-an. Deep learning adalah cabang dari kecerdasan buatan (AI) dan machine learning yang memanfaatkan neural network multiple layer untuk menyelesaikan tugas dengan ketepatan tinggi. (Pengantar Dasar Deep Learning karya Rometdo Muzawi, 2024:29). Penerapan deep learning pada komputer memungkinkan untuk mengolah data serupa dengan cara kerja otak manusia.
Pasca video tersebut beredar di media sosial, lalu muncul isu atau anggapan di masyarakat bahwa kurikulum merdeka akan diganti dengan kurikulum deep learning. Dalam beberapa kesempatan, Pak Mu’ti menyampaikan bahwa deep learning (pembelajaran mendalam) bukanlah kurikulum, tetapi pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami sebuah materi ajar secara mendalam. Bisa saja materi yang dipelajari siswa sedikit, tetapi pemahamannya terhadap materi tersebut mendalam, sehingga mereka benar-benar menguasainya.
Deep learning ditunjang oleh 3 pilar, yaitu mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Mindful learning yaitu pembelajaran yang mengaktifkan siswa, fokus pada proses belajar, dan membangun kemampuan berpikir kritis siswa. Meaningful learning, yaitu pembelajaran yang bermakna. Dalam hal ini siswa belajar tentang suatu hal bukan hanya secara teoretis saja, tetapi juga secara praktis, mengalami secara langsung, dan bersifat kontekstual. Siswa bukan hanya tahu materi ajar, tetapi juga paham dan memiliki kesan yang mendalam, sehingga mereka memiliki memori jangka panjang terkait dengan materi yang telah dipelajarinya.
Sedangkan joyful learning, yaitu pembelajaran yang menyenangkan. Maksud dari menyenangkan dalam hal ini adalah bukan pembelajaran yang isinya didominasi oleh permainan atau ice breaker yang membuat siswa tertawa dan bersenang-senang, tetapi siswa merasa senang terhadap proses belajar yang telah dilaluinya. Belajar menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan bagi mereka. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran guru dalam menciptakan suasana yang menyenangkan tersebut.
Terkait dengan isu pergantian kurikulum merdeka, Pak Mu’ti menegaskan bahwa belum ada pergantian kurikulum. Kurikulum yang berlaku saat ini masih kurikulum merdeka. Walau demikian, Kemdikdasmen saat ini sedang melakukan kajian dan evaluasi terkait dengan kurikulum merdeka melalui masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan para ahli.
Pernyataan Pak Mu’ti hanya terkait deep learning sebagai sebuah teori dan pendekatan pembelajaran menjadi sebuah pemantik yang masih perlu dibedah dan didiskusikan lebih lanjut. Deep learning secara teknis operasional harus lebih dijabarkan dalam strategi dan metode pembelajaran. Jangan sampai para guru menjadi bingung dengan istilah tersebut.
Jika ditelaah dari sisi konsep dan paradigmanya, deep learning mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centre), memperhatikan keberagaman kemampuan dan karakteristik siswa (pembelajaran berdiferensiasi), pembelajaran yang bersifat kontekstual, pendekatan konstruktivisme, pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), membangun kemampuan berpikir kritis (critical thinking), membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS), dan menerapkan pendekatan saintifik melalui pembelajaran inquiry, discovery, eksperimen, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis proyek. Intinya, siswa diberikan kesempatan yang luas dan leluasa untuk mengamati, mengeksplorasi, menganalisis, dan mengambil kesimpulan dari materi yang dipelajarinya.
Masih rendahnya kemampuan literasi sebagian besar siswa dan kemampuan didaktik-metodik guru yang beragam menjadi tantangan dalam mengimplementasikan deep learning. Deep learning sebagai konsep yang abstrak perlu dikonkritkan melalui penjelasan dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh guru. Apakah nantinya deep learning menjadi kerangka pemikiran perubahan kurikulum pendidikan? Kita tunggu saja perkembangannya dengan tetap berpikir optimis dan konstruktif.
GURU JANGAN GAGAP MENYIKAPI EUFORIA DEEP LEARNING
Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Saat ini wacana deep learning (pembelajaran mendalam) menjadi trending topic di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Di media sosial pun berseliweran konten terkait dengan hal ini. Bahkan sempat muncul minkonsepsi bahwa deep learning akan menjadi kurikulum merdeka. Ramainya wacana ini dipantik oleh video obrolan Mendikdasmen Abdul Mu’ti dengan beberapa orang terkait pendekatan deep learning yang rencananya akan diimplementasikan dalam menningkatkan meningkatkan mutu pembelajaran di masa kepemipinannya. Potongan obrolannya pun kemudian beredar di media sosial.
Pascaramainya wacana deep learning, dinas Pendidikan, satuan Pendidikan, organisasi profesi guru, dan komunitas pendidikan ada yang melakukan respon cepat, menindaklanjutinya dengan melakukan seminar, IHT, atau workshop terkait deep learning. Dalam perkembangannya Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) Kemendikdasmen pun mengedarkan paparann singkat terkait deep leraning. Soft copy-nya sudah banyak beredar di grup-grup WA. Paparan tersebut hanya sebuah langkah awal, tentu ke depannya perlu ada sosialisasi, pelatihan, dan panduan teknis yang lebih jelas terkait deep learning agar bisa dipahami dengan mudah oleh para guru.
Di tengah euforia terkait deep learning, cukup banyak guru yang sepertinya gagap dalam menyikapinya. Seolah “kebijakan” ini harus dilaksanakan pada semester ini. Mereka mengaku bingung bagaimana harus mengimplementasikannya dalam pembelajaran. Apalagi dengan menggunakan istilah asing (Bahasa Inggris), deep learning dianggap sebagai barang baru. Apalagi saat mendengar pilar-pilarnya seperti mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Dalam pikirannya, mungkin guru yang bertanya “pembelajaran seperti apa lagi ini?”
Deep learning sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Hal ini sudah sejak lama dibahas. Lalu, mengapa saat ini terkesan menjadi euforia? Salah satu karakter masyarakat kita adalah kadang gagap dan gelagapan dengan sebuah hal atau kebijakan baru. Teori ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Diantaranya dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Marton dan Saljo tahun 1976. Artikel tersebut membahas teori pembelajaran mendalam dan pembelajaran dangkal. Kemudian teori experiential learning (Kolb, 1984) yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman yang meliputi refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen. Lalu ada buku yang berjudul Deep Learning Engage the World Change to the World yang ditulis oleh Michael Fullan, Joanne Quinn, dan Joanne McEachen tahun 2018.
Kajian deep learning semakin berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan, sehingga deep learning seolah identik dunia teknologi. Saya melihat bahwa deep learning yang disampaikan oleh Pak Mu’ti bukan berorientasi dalam implementasi di dunia teknologi, tetapi lebih fokus kepada implementasinya dalam pembelajaran. Oleh karena itu, muncul tiga pilar penopang deep learning yaitu; 1) mindful learning (belajar penuh dengan kesadaran), 2) meaningful learning (belajar bermakna/mengambil makna dari materi yang dipelajari), dan 3) joyful learning (belajar dengan menyenangkan/ belajar aktif, partisipatif, kooperatif, kolaboratif).
Pada praktiknya, deep learning dengan ketiga pilarnya tersebut disadari atau tidak, guru sudah melaksanakannya dalam pembelajaran. Hanya tidak tahu atau atau tidak sadar hal tersebut adalah deep learning. Saat guru melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, menyampaikan materi, melakukan tanya jawab, mengarahkan siswa berdiskusi, presentasi, menganalisis, mengevaluasi, memecahkan masalah, menyusun dan menyelesaikan sebuah proyek. Hal itu sudah mindful learning. Dengan demikian, mindful learning adalah pembelajaran yang mengaktifkan siswa, fokus pada proses belajar, dan membangun kemampuan berpikir kritis siswa.
Saat siswa memahami, kemudian mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan kondisi nyata dalam kehidupannya (kontekstual), mampu menyimpulkan, merefleksi, dan mengambil hikmah atau makna dari materi yang dipelajari, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sudah sudah meaningful learning. Dengan demikian, meaningful learning adalah pembelajaran yang mengarahan siswa belajar dan mengambil makna dari pengalaman secara kontekstual.
Saat siswa termotivasi untuk belajar, merasa senang dan gembira selama pembelajaran, berpartisipasi secara aktif dalam diskusi, aktif dalam kerja kelompok, mau bertanya, mau menjawab pertanyaan dari guru atau temannya, lalu menanggapi jawaban dari guru atau temannya secara antusias. Hal itu sudah joyful learning. Dengan demikian, joyful learning adalah belajar menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan bagi mereka. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran guru dalam menciptakan suasana yang menyenangkan tersebut. Guru mampu menghidupkan suasana belajar yang kondusif dan positif. Terbangun chemistry dan hubungan positif antara guru dan siswa.
Deep learning (pembelajaran mendalam) bukan kurikulum, tetapi sebuah alternatif pendekatan pembelajaran yang berpusat pada murid. Oleh karena itu, sebagai sebuah pendekatan pembelajaran, deep learning tidak dikaitkan dengan kurikulum tertentu. Deep learning bisa diintegrasikan atau bisa diimplementasikan pada kurikulum apapun. Sejak zaman CBSA, KTSP, K-13, dan saat ini kurikulum merdeka, deep learning bisa dilakukan.
Begitu pun hal-hal yang pernah menjadi trending topic seperti CTL, STEM, pendekatan saintifik, HOTS, pembelajaran berdiferensiasi, dll. Hal-hal tersebut tidak identik dengan "milik" kurikulum tertentu. Semua bisa dilakukan pada berbagai label kurikulum. Mengapa? Karena kurikulum hanya sebuah "alat" dalam pembelajaran. Dan pemanfataan "alat" tergantung kepada gurunya.
Berdasarkan kepada hal tersebut, para guru tidak perlu "gagap" terkait dengan ramainya wacana dan rencana implementasi deep learning dalam pembelajaran. Lakukan saja pembelajaran seperti biasanya sesuai dengan gaya mengajar guru. Yang penting guru mengajarnya menyenangkan, murid betah belajar bersama gurunya. Mengapa? Karena mengajar pada hakikatnya adalah sebuah seni.
Guru pun tidak perlu gelagapan dalam mengimplementasikan deep learning. Deep learning orientasinya memang mengarahkan kepada kemampuan berpikir (kognitif) tingkat tinggi (HOTS/ Higher Order Thinking Skills) yaitu menganalisis (C-4), mengevaluasi (C-5), dan mencipta (C-6). Walau demikian, guru tidak selalu langsung menerapkannya. Guru harus menyampaikan materi dari dasar dahulu agar siswa tidak mengalami kesulitan. Apalagi, jika siswanya ada yang kemampuan awalnya rendah.
Sebelum masuk ke deep learning (pembelajaran mendalam), guru sebaiknya mengawalinya dengan surface learning (belajar dari permukaan/awal) atau kemampuan berpikir (kognitif) tingkat rendah (LOTS/ Lower Order Thinking Skills) yaitu mengetahui (C-1), memahami (C-2), dan mengaplikasikan (C-3). Siswa belajar secara bertahap sebagaimana mengacu pada Taksonomi Bloom.
Dengan demikian, deep learning jangan dijadikan beban baru bagi guru karena hal tersebut mungkin sudah bahkan sedang dilakukan oleh guru saat ini di kelas. Tinggal dipahami lebih lanjut konsep dan implementasinya agar tidak terjadi miskonsepsi.
21 PANTUN PEMBELAJARAN MENDALAM (DEEP LEARNING)
Karya IDRIS APANDI
1
Bulan bersinar di waktu malam
Bertabur bintang pancarkan cahaya
Tiga ciri belajar mendalam
Yaitu sadar, bermakna, dan gembira
2
Pergi ke pasar membeli ikan
Lalu dikemas pakai bungkusan
Pembelajaran mendalam dilakukan
Tuk hasilkan delapan profil lulusan
3
Di tengah rumah disimpan kursi
Ada juga meja dan lemari
Siswa dapat miliki kompetensi
Bekal sukses di kemudian hari
4
Membuat pakaian gunakan pola
Menangkap ikan gunakan jala
Siswa miliki akhlak mulia
Yang berkarakter Pancasila
5
Sungguh indah suasana malam
Terang berhias cahaya rembulan
Siswa belajar dengan mendalam
Tak hanya berupa hapalan
6
Jalan-jalan ke tangkuban perahu
Di taman tumbuh bunga sedap malam
Siswa bukan hanya sekadar tahu
Tapi belajar sampai paham
7
Pergi ke toko membeli solatif
Solatif digunakan menyambung kertas
Siswa tidak belajar dengan pasif
Tapi secara aktif penuh aktivitas
8
Pergi ke pasar beli ikan teri
Sekalian beli ikan pari
Siswa tak hanya dijejali materi
Tapi diarahkan mencari arti
9
Nelayan berlayar gunakan kapal
Arungi gelombang mancari ikan
Siswa bukan hanya menghapal
Tapi mencari dan menemukan
10
Air dipakai mencuci pakaian
Dibilas, dibersihkan, dan dikeringkan
Siswa bukan hanya mendengarkan
Tapi melakukan dan menemukan
11
Bakso tahu bahannya ikan tenggiri
Udang diolah jadi terasi
Siswa tak hanya tahu teori
Tapi paham, aplikasi, dan refleksi
12
Sinar matahari terasa terik
Enaknya minum es kelapa
Pendekatan belajar yang menarik
Siswa belajar dengan gembira
13
Pergi ke toko membeli solatif
Sekalian dengan kabel listrik
Siswa belajar secara aktif
Melalui cara yang menarik
14
Masuk kantor jangan lupa presensi
Lalu bersihkan meja dan kursi
Bukan hanya guru yang mendominasi
Tapi ajak siswa untuk berdiskusi
15
Habis hujan tanah pun basah
Badan segar tak lagi gerah
Siswa ditantang selesaikan masalah
Kemampuan berpikir kritis pun terasah
16
Sebuah lagu didendangkan
Dinyanyikan penuh penghayatan
Pembelajaran yang menyenangkan
Dilakukan berbasis pengalaman
17
Sungguh enak kolak buah nangka
Roti dibakar diolesi mentega
Peserta mampu mengambil makna
Melalui pengalaman yang berharga
18
Makan nasi dengan ikan teri
Tambah lalapan dan juga sambal
Siswa mampu pahami materi
Melalui pembelajaran kontekstual
19
Pergi ke toko membeli sandal
Sandal dipakai untuk berjalan
Siswa belajar secara kontekstual
Melalui contoh nyata kehidupan
20
Minum kopi ditambah gorengan
Menu yang cocok untuk sarapan
Siswa tak hanya belajar di ruangan
Tapi juga praktik di lapangan
21
Pergi ke lapang lakukan senam
Joging olah raga yang tidak mahal
Wujudkan pembelajaran mendalam
Melalui guru profesional
ANALOGI DEEP LEARNING DENGAN MENGGUNAKAN PROSES MEMBUAT BAKSO
By. Idris Apandi
Diceritakan suatu hari ada pedagang bakso mendapat pesanan bakso dari seorang pembeli. Di situ tertulis pesan bakso cincang 1 mangkok.
- Mindful Learning (kesadaran)
1) Pedagang mengetahui bahan-bahan dan bumbu bakso.
2) Pedagang paham cara meracik bahan-bahan bakso.
3) Pedagang bakso sadar bahwa dia harus membuat bakso sesuai dengan yang dipesan pembeli.
4) Pedagang sadar bahwa dia harus membuat bakso dan menata tempat makan bakso dengan memperhatikan kebersihan dan kesehatan.
5) Pedagang sadar bahwa kepuasan pelanggan harus diutamakan.
- Meaningful Learning (bermakna)
1) Pedagang bakso meracik bahan bakso dengan sebaik-baiknya agar pembeli senang dan puas.
2) Pedagang bakso menata tempat makan bakso dengan rapi, bersih, dan nyaman digunakan oleh pembeli.
3) Pelayanan dan prima ucapan terima kasih sangat penting membuat pembeli terkesan dan puas. Pembeli yang puas kemungkinan akan membeli lagi bakso ke yang bersangkutan.
- Joyful Learning (menyenangkan)
1) Pedagang ramah saat melayani pembeli.
2) Pedagang membuat / meracik bakso dengan penuh suka cita.
3) Ucapan terima kasih disampaikan pedagang kepada pembeli atas pesanan baksonya.
PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN ITU SEPERTI APA SIH?
Oleh Idris Apandi
(Praktisi Pendidikan)
Secara umum pembelajaran yang menyenangkan dibayangkan atau ditafsirkan sebagai pembelajaran yang riang gembira penuh suka cita. Guru yang murid tertawa bersama. Selain itu, dalam suasana yang gembira, juga ada hiburan, ada ice breaker, ada adegan jingkrak-jingkrak, menari dan bernyanyi, dan sebagainya. Pandangan ini adalah sebuah keliru/miskonsepsi dan harus diluruskan.
Pembelajaran yang menyenangkan tidak selalu identik dengan pembelajaran yang penuh dengan hiburan, permainan, atau banyak tertawa terbahak-bahak sepanjang pembelajaran. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang prosesnya ”dinikmati” baik oleh guru maupun oleh murid dari awal sampai dengan akhir. Selama proses pembelajaran berlangsung mungkin saja guru dan murid tertawa, tetapi bisa saja mereka tertawa bukan karena ”menikmati” proses pembelajaran. Bisa jadi penyebabnya hal lain, seperti menertawakan hal lucu di luar konteks pembelajaran. Atau juga mungkin tertawa karena ada temannya yang terpeleset di kelas atau penampilannya memancing untuk ditertawakan.
Dalam pembelajaran yang menyenangkan terjalin interaksi dan komunikasi yang interaktif antara guru dan murid. Pembelajaran bisa saja berjalan serius tetapi santai dan bermakna. Murid mengikuti pembelajaran dengan fokus dan sungguh-sungguh sehingga tidak terasa waktu pembelajaran dari menit pertama sudah sampai ke menit terakhir. Murid-murid asik melakukan praktik, mengerjakan proyek, atau eksperimen selama pembelajaran. Saat murid berhasil menyelesaikan sebuah proyek dan mendapatkan apresiasi dari guru dan teman-temannya, maka hal ini akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan baginya.
Interaksi dalam pembelajaran bukan hanya antara guru dan murid, tetapi juga interaksi antara murid dengan murid, murid dengan bahan ajar/sumber belajar, dan murid dengan lingkungan sekitar. Jika ada satu saja hal yang kurang berjalan dengan baik, maka pembelajaran akan membosankan.
Pembelajaran yang menyenangkan pun dipengaruhi oleh minat murid terhadap materi pelajaran, penampilan dan cara guru menyampaikan materi, penilaian murid terhadap guru, dan lingkungan tempat belajar. Kalau murid memang berminat pada mata pelajaran tertentu, maka dia semangat belajar. Sebaliknya, jika yang bersangkutan tidak senang terhadap materi tertentu, maka akan sulit terbangun pembelajaran yang menyenangkan.
Lalu bagaimana dengan ice breaker? Apakah ice breaker tidak berguna dalam membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan? Ice breaker tentu saja berguna. Tujuan ice breaker adalah untuk mengondisikan kesiapan belajar murid, memfokuskan perhatian murid, dan mengusir kebosanan. Ice breaker dilakukan hanya pada waktu tertentu saja dan sesuai dengan kebutuhan. Dalam pembelajaran tidak harus selalu ada ice breaker. Karena ice breaker bukan “menu utama” pembelajaran, tetapi hanya “bumbu penyedap” saja. Terlalu sering ice breaker atau ice breaker-nya tidak bervariasi bukan membuat murid senang, tetapi justru jadi membosankan. Guru yang sering melucu bisa jadi juga justru kurang disukai dan jadi kurang berwibawa di mata murid.
Guru yang menyenangkan di mata murid biasanya secara penampilan rapi, cara menyampaikan materinya menarik dan mudah dipahami, tidak tegang saat menjelaskan materi, tidak jaim, humoris, komunikatif, terbuka untuk tanya jawab atau berdiskusi dengan murid, tidak “pelit” nilai, bijak, dan sebagainya.
Pembelajaran adalah sebuah proses yang kompleks. Mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan bukan hal yang mudah bagi guru. Mengapa? Karena guru berhadapan dengan beragam karakter murid. Cara seorang guru mengajar menurut sebagian murid mungkin menyenangkan, tetapi bagi sebagian lainnya justru membosankan. Oleh karena itu, guru harus menyiasati pembelajaran melalui beragam strategi dan metode.
Kemampuan awal, kondisi fisik dan psikis murid pada saat pembelajaran juga mempengaruhi motivasi dan kegairahan murid selama pembelajaran. Oleh karena itu, asesmen awal sangat diperlukan untuk mengetahui kemampuan awal, kondisi psikologis, dan minat murid terhadap sebuah materi pelajaran. Belum lagi faktor sarana dan lingkungan belajar. Hal ini juga akan mempengaruhi suasana pembelajaran.
Mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Guru adalah desainer sekaligus aktor yang harus banyak ”berakrobat” saat pembelajaran. Mengajar adalah seni. Sebagai seni, pembelajaran harus dirancang dan dilaksanakan semenarik mungkin bagi murid. Jangan sampai suatu saat murid ditanya apa dan bagaimana pembelajaran yang menyenangkan itu? Mereka menjawab saat gurunya tidak hadir alias jam kosong (jamkos).
KALAU SEKOLAH LIBUR SELAMA RAMADAN, SISWA MAU NGAPAIN DI RUMAH?
Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Saat ini diskursus terkait dengan libur (belajar di sekolah) selama bulan ramadan menjadi perbicangan hangat bahkan memicu pro dan kontra. Libur belajar secara penuh selama bulan ramadan pernah diberlakukan masa presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu, kebijakan ini tidak memicu pro dan kontra saat ini. Berjalan saja. Tujuan libur sekolah selama bulan ramadan agar siswa yang muslim bisa fokus melaksanakan ibadah puasa. Kondisi fisik yang kadang menurun dan lemah karena berpuasa menyebabkan siswa tidak semangat belajar sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Oleh karena itu, selama bulan ramadan, siswa libur sekolah. Libur di sini maksudnya bukan berarti siswa tidak belajar sama sekali. Tetapi, maksudnya adalah selain siswa yang beragama Islam bisa fokus berpuasa di rumah, tetapi bisa sambil belajar atau mengerjakan tugas dari sekolah/guru.
Pascakepemimpinan Presiden Gusdur, tidak ada lagi kebijakan libur selama sebulan penuh selama bulan ramadan. Pada bulan ramadan, siswa da libur pada hari pertama puasa, lalu melaksanakan kegiatan belajar, mengikuti kegiatan pesantren kilat (sanlat), lalu libur satu minggu jelang idulfitri. Dengan mempertimbangkan kondisi fisik siswa yang berpuasa, jam pelajaran (JP) selama bulan ramadan pun biasanya dikurangi. Misalnya dari 40 atau 45 menit menjadi 30 menit per JP.
Kegiatan pesantren kilat biasanya dilaksanakan selama beberapa hari. Kadang kelasnya dipisahkan seperti pembelajaran pada umumnya, tapi ada juga yang digabungkan. Bahkan, kadang kegiatan sanlat di sekolah dianggap sebagai kegiatan ”sunnat” oleh siswa, sehingga walau sebenarnya sekolah mewajibkan setiap siswa datang ke sekolah, pada praktiknya tidak semua siswa yang datang. Siswa yang datang ke sekolah pun belum tentu mengikuti sanlat dengan serius. Prinsipnya, yang penting datang dan mengisi daftar hadir. Sanlat yang waktunya hanya beberapa hari terkesan hanya untuk memenuhi keperluan administrasi saja.
Sekarang muncul lagi wacana terkait libur penuh selama bulan Ramadan. Pemerintah memang belum memutuskan terkait hal ini. Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa saat ini ada 3 usul opsi terkait belajar selama bulan ramadan. Opsi pertama, sekolah diliburkan satu bulan selama ramadan dan siswa mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat. Opsi kedua, sekolah diliburkan beberapa hari di awal dan akhir ramadan dan opsi ketiga adalah, selama ramadan, sekolah tidak libur seperti yang berlaku selama ini. Keputusan akhir terkait hal ini akan diputuskan melalui Surat Edaran (SE) 3 Kementerian yaitu, Mendikdasmen, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.
Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pada bulan ramadan istilahnya bukan libur selama ramadan, tetapi pembelajaran selama ramadan. Sebenarnya, bulan ramadan itu sendiri adalah bulan pembelajaran (syahrul tarbiyah). Belajar apa? Belajar berpuasa bagi yang anak-anak/pemula, belajar menahan hawa nafsu, belajar disiplin, belajar ilmu agama, dan belajar hal-hal positif lainnya.
Belajar di sini bukan dalam artian belajar seperti di sekolah, tetapi belajar arti lebih substantif. Bahkan bulan ramadan bisa menjadi sarana meningkatkan kecakapan vokasional anak dan membangun karakter, seperti belajar membereskan tempat tidur, membersihkan rumah, atau membantu orang tua menyiapkan menu berbuka puasa.
Idealnya, saat bulan ramadan, anak libur sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, orang tua mendampingi dan membimbing anak, tetapi realitanya, saat anak sekolah libur sekolah selama ramadan, orang tua tetap bekerja/ mencari nafkah. Orang tua tidak memiliki waktu mendampingi anak di waktu siang. Kalau pun ada ibu yang tinggal di rumah, tetap direpotkan dengan mengurus rumah dan mengasuh anak-anak lainnya, sehingga peran yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik.
Belum lagi orang tuanya sendiri tidak tahu atau bingung apa yang harus dilakukan dalam mendampingi anak karena tidak semua orang tua memiliki kemampuan literasi yang baik. Akibatnya, daripada banyak belajar dan banyak tadarrus Al-Qur’an anak lebih banyak main game online atau tidur. Dampaknya, tujuan peningkatan amal ibadah selama bulan ramadan tidak tercapai.
Rasa bosan terjadi jika siswa terlalu libur lama. Penurunan motivasi dan kemampuan belajar pun bisa juga terjadi. Pertanyaan lain yang muncul dari masyarakat jika libur selama bulan ramadan terlalu lama, bagaimana dengan siswa nonmuslim? Apa yang harus mereka lakukan? Apakah kekosongan selama belajar di sekolah diisi juga dengan kegiatan keagamaan sesuai dengan agama mereka? Berdasarkan kepada hal tersebut, maka pemerintah perlu secara bijak memutuskan terkait dengan libur selama bulan ramadan. Dan perlu mencari jalan tengah agar di satu sisi tujuan bulan ramadan sebagai sarana peningkatan keimanan dan ketakwaan kaum muslim bisa tercapai, tetapi di sisi lain, mutu pembelajaran secara akademik bisa terjaga.