Kamis, 09 Januari 2025

Pembelajaran Mendalam

Pembelajaran Mendalam

 

Pendekatan Pendidikan Mendalam Abdul Mu'ti: Mindful, Meaningful, dan Joyful
(diambil dari berbagai sumber)

Abdul Mu'ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, menawarkan konsep pembelajaran mendalam yang tidak hanya sekadar memenuhi kurikulum yang padat, tetapi menekankan pada pendekatan deep learning. Namun, deep learning di sini bukanlah nama kurikulum baru, melainkan pendekatan yang mendorong pemahaman mendalam melalui tiga prinsip utama: mindful, meaningful, dan joyful.

Prinsip 1: Mindful
Pendekatan mindful menekankan pada pentingnya mengenali dan menghargai keragaman identitas siswa. Dalam lingkungan pendidikan yang mindful, guru harus sensitif terhadap latar belakang dan perbedaan setiap siswa, baik dari segi budaya, agama, maupun pengalaman. Tujuannya adalah untuk membentuk suasana inklusif yang merangkul semua siswa, mendorong mereka untuk belajar tanpa merasa terdiskriminasi atau tertekan. Dengan demikian, setiap siswa memiliki ruang untuk mengekspresikan diri dan memahami materi tanpa tekanan untuk beradaptasi pada satu cara pandang saja.

Prinsip 2: Meaningful
Agar pembelajaran menjadi meaningful, Abdul Mu'ti menyarankan materi pelajaran yang relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Dengan memberikan materi yang bermakna, siswa tidak hanya sekadar memahami teori, tetapi juga merasakan manfaatnya dalam kehidupan nyata. Ini akan membantu siswa untuk belajar dengan motivasi intrinsik yang lebih tinggi, karena apa yang mereka pelajari terasa relevan dan berguna bagi mereka. Pendekatan ini dapat memupuk rasa ingin tahu yang lebih besar dan membuat siswa lebih aktif dalam mengeksplorasi pengetahuan.

Prinsip 3: Joyful
Pendidikan yang joyful bertujuan untuk menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan tidak membosankan. Abdul Mu'ti percaya bahwa suasana belajar yang menyenangkan dapat meningkatkan motivasi siswa dan membuat mereka lebih antusias dalam proses belajar. Joyful education mendorong siswa untuk belajar dengan rasa senang dan tanpa tekanan yang berlebihan. Hal ini diyakini dapat membantu siswa mengembangkan karakter yang positif dan mengatasi kecemasan akademik yang mungkin timbul.

Pendidikan Holistik dan Mendalam
Mu'ti berargumen bahwa pendidikan bukan sekadar soal menyelesaikan kurikulum atau meraih nilai akademik tinggi, melainkan upaya membangun karakter dan keadaban siswa. Dengan mengutamakan pendekatan mindful, meaningful, dan joyful, Mu'ti ingin menciptakan pembelajaran yang mendalam dan holistik. Pendekatan ini juga memungkinkan siswa belajar tanpa sekadar menghafal atau mengejar nilai, tetapi benar-benar memahami dan menerapkan apa yang dipelajari dalam kehidupan mereka. Harapannya, siswa Indonesia akan tumbuh menjadi generasi yang berwawasan luas, inklusif, dan berkarakter kuat.

MENYOAL HADIAH UNTUK GURU

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Jelang peringatan Hari Guru, cukup banyak perbincangan di media sosial yang menyoal guru. Selain masalah kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme guru, juga banyak perbicangan terkait dengan pemberian hadiah atau cinderamata untuk guru. Ada yang pro maupun yang kontra. Kalau saya perhatikan dari diskusi di media sosial, justru yang ”antusias” membahas masalah ini bukan guru itu sendiri, tetapi orang tua atau orang yang bukan berprofesi sebagai guru. Bahkan, pada diskusi tersebut, tanggapan miring dan nyinyir terhadap guru sudah muncul karena soal pemberian hadiah saat hari guru.

Seingat saya, zaman saya belajar di SMP tahun 90-an, setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru atau juga Hari PGRI. Saat itu, guru dan siswa melaksanakan upacara di alun-alun. Saat upacara, bagian yang paling saya sukai adalah pada saat paduan suara menyanyikan lagu ”Hymne guru” dan Lagu ”Terima Kasih Guruku”. Lirik-lirik lagunya terasa menyerap di hati sanubari. Setelah upacara, ya selesai. Tidak ada karangan bunga, kue, atau cokelat untuk guru. Tetapi saat ini kondisinya berbeda, jelang hari guru, justru profesi guru banyak dibahas dikaitkan dengan masalah hadiah untuk guru. Dan sekali lagi, yang banyak membahasnya justru orang tua, bukan kalangan guru.

Di sekolah ada komite sekolah, paguyuban orang tua, atau koordinator kelas (korlas). Pengurus paguyuban atau korlas yang biasanya menginisiasi adanya pemberian hadiah untuk wali kelas. Orang tua/wali dimintai iuran untuk pengadaan hadiah untuk wali kelas. Hal ini yang kadang memicu polemik. Ada orang tua yang sukarela membayar iuran, tapi ada juga orang tua yang keberatan membayar (walau mampu), dan ada orang tua yang kurang mampu membayar. 

Orang tua yang keberatan membayar atau yang tidak mampu membayar iuran khawatir “ditandai” oleh pengurus atau orang tua yang membayar. Orang tua yang keberatan membayar pun akhirnya terpaksa membayar. Lalu, curhat di media sosial dengan harapan ada yang membela, utamanya dari orang tua atau pihak yang berpikiran sama dengannya. Hal ini menyebabkan polemik soal hadiah untuk guru semakin melebar. 

Selain orang tua, ada juga murid yang berinisiatif memberikan hadiah kepada wali kelasnya. Wali kelas memang biasanya menjadi “langganan” hadiah baik pada saat akhir tahun maupun pada saat peringatan hari guru. Di kalangan guru, hal ini pun kadang menjadi kecemburuan. Seolah hanya wali kelas yang berjasa kepada murid, sedangkan guru yang tidak menjadi wali kelas diabaikan. Tidak mendapatkan hadiah dari murid.

Bagi pihak yang setuju dengan adanya hadiah bagi guru, mereka berpandangan bahwa hadiah yang diberikan sebagai bentuk apresiasi atas jasa dan dedikasi guru, sedangkan bagi pihak yang kurang setuju terhadap pemberian hadiah kepada guru, mereka mengaitkannya dengan soal etika, bahkan mengaitkannya dengan gratifikasi yang berpotensi melanggar hukum dan memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan dan perlakuan diskriminatif guru terhadap anak dari orang tua yang memberikan hadiah dan yang tidak memberikan hadiah terhadap guru.

Secara manusiawi, setiap orang, termasuk guru pasti senang mendapatkan hadiah. Walau demikian, saya yakin, kalangan guru sebenarnya tidak pernah mempersoalkan hadiah saat peringatan hari guru. Bagi guru, tanggal 25 November sebagai hari bersejarah dan bermakna bagi profesi mereka. Tidak ada harapan lebih dari guru dari orang tua atau murid-muridnya terkait hadiah. Kalau pun berharap hadiah, para guru berharap “hadiah” dari pemerintah (guru ASN PNS dan P3K) atau dari pengelola yayasan (GTY/guru honorer), utamanya terkait dengan kesejahteraan, kejelasan nasib, perlindungan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berpihak kepada guru.

Bagi orang tua atau siapa pun yang memberikan hadiah terhadap guru, luruskanlah niat, jangan sampai hadiah yang diberikan kepada guru menjadikan profesi guru sebagai tertuduh bahwa guru ingin diberi hadiah. Kalau sekiranya pemberian hadiah bagi guru akan lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya, sebaiknya jangan dipaksakan. Jangan sampai guru yang tidak tahu menahu urusan hadiah yang sebenarnya diinisiasi oleh orang tua/wali namaya terbawa-bawa menjadi jelek.

Pihak guru atau sekolah pun sebaiknya menghindari untuk menyampaikan pernyataan yang tendensius atau memancing-mancing baik kepada murid maupun kepada orang tua/ wali terkait pemberian hadiah supaya tidak menjadi miskomunikasi antara kedua belah pihak dan pada akhirnya merugikan nama baik guru atau sekolah. 

Kalau pun mau ada syukuran hari guru di sekolah, sebaiknya difasilitasi oleh sekolah sesuai dengan kemampuan masing-masing sekolah. Menghindari untuk meminta partisipasi dari orang tua/wali agar tidak memunculkan polemik dan prasangka buruk. Walau demikian, jika ada pihak orang tua ingin berpartisipasi, sekolah bisa mempertimbangkannya. Asal tidak mengikat dan tidak berimplikasi terhadap adanya konflik kepentingan. Selain itu, bisa juga sekolah mengajak orang tua/wali dan murid untuk merayakan hari guru bersama-sama secara sederhana. Misalnya melalui tulisan/video ucapan selamat, doa, atau nyanyian.

Saya yakin, bagi seorang guru, hakikat sebuah kebahagiaan baginya bukanlah hadiah dalam bentuk materi, tetapi saat murid-muridnya bisa memahami materi yang disampaikan oleh guru, berbudi pekerti luhur, dan meraih kesuksesan di masa depan. Di momentum peringatan Hari Guru, berikanlah hadiah dalam bentuk doa-doa terbaik bagi mereka. Mari doakan para guru-guru kita agar senantiasa sehat, panjang umur, terlindungi, dan terjamin kesejahteraannya. Selamat Hari Guru Nasional.

BAGAIMANA IMPLEMENTASI 3 PILAR DEEP LEARNING DALAM PEMBELAJARAN?

Oleh : IDRIS APANDI 
(Praktisi Pendidikan)

Istilah Deep Learning menjadi trending topic pasca Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan hal tersebut dalam sebuah dialog singkat. Ibarat sebuah bola salju, istilah deep learning semakin menjadi diskursus di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Agar tidak terjadi miskonsepsi, pak Mu’ti menyampaikan bahwa deep learning bukanlah sebuah kurikulum, apalagi akan menjadi pengganti kurikulum merdeka, tetapi deep learning merupakan pendekatan pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami materi pelajaran. 

Konsep Deep Learning diperkenalkan oleh Marton dan Saljo Dario Swedia sejak tahun 1976 dan terus berkembang sampai dengan saat ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) saat ini banyak didukung oleh deep learning. Deep learning adalah cabang dari kecerdasan buatan (AI) dan machine learning yang memanfaatkan neural network multiple layer untuk menyelesaikan tugas dengan ketepatan tinggi. (Pengantar Dasar Deep Learning karya Rometdo Muzawi, 2024:29). Penerapan deep learning pada komputer memungkinkan untuk mengolah data serupa dengan cara kerja otak manusia.

Deep learning ditopang oleh tiga pilar, yaitu mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning.  Mindful learning fokusnya adalah pada mengaktifkan, membangun, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Peserta didik distimulasi dengan masalah-masalah yang bersifat kontekstual dan diarahkan untuk menyelesaikan masalah secara kreatif. 

Intinya, pada mindful learning, otak atau pikiran peserta didik didik diasah agar pengetahuan atau wawasannya bertambah. Daya kritis dan analitisnya semakin tajam, dan kemampuan menyelesaikan masalah semakin berkembang melalui pengalaman, eksperimen, atau praktik langsung. Rasa ingin tahu peserta didik dipancing melalui pembelajaran inquiry, discovery, eksperimen, pembelajaran berbasis masalah, atau pembelajaran berbasis proyek.

Proses pembelajaran dilakukan melalui penguatan kemampuan kognitif, mulai dari kognitif tingkat rendah hingga kognitif tingkat tinggi. Sebagaimana yang tercantum pada teori Bloom, kemampuan kognitif terdiri dari 6 (enam) level, yaitu C-1 mengetahui, C-2 memahami, C-3 menerapkan, C-4 menganalisis, C-5 mengevaluasi, dan C-6 mencipta. C-1 s.d. C3 dimasukkan ke dalam kategori kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS), sedangkan C-4 s.d. C-6 dimasukkan ke dalam kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS).

Ruang lingkup aktivitas yang dilakukan pada mindful learning misalnya; Apa materi yang saya pelajari? Untuk apa saya mempelajari materi tersebut? Bagaimana cara saya mempelajari/ menguasai materi yang saya pelajari? Apa indikator dan apa alat ukur bahwa saya telah menguasai materi yang saya pelajari? Apa inti atau simpulan yang saya dapatkan dari materi yang saya pelajari? Dan bagaimana saya mempelajari lebih lanjut untuk meningkatkan/memperkaya pemahaman materi tsb?, dan sebagainya.

Meaningful learning pada dasarnya pembelajaran harus memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik. Bukan hanya asal terlaksananya pembelajaran, bukan hanya asal materi tersampaikan, dan bukan asal materi habis. Pengalaman belajar yang menyenangkan harus diawali dari guru yang menyenangkan. Bagaimana karakter guru yang menyenangkan? Tentunya guru yang mampu mendesain dan melaksanakan pembelajaran yang membuat siswa antusias  dan semangat mengikuti kegiatan belajar.  Mengajar adalah seni. Oleh karena itu, strategi dan caranya diserahkan sepenuhnya kepada guru. Guru diharapkan mengajar secara all out. Berbagai pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik dapat digunakan oleh guru.

Intinya, setelah peserta didik mengalami meaningful learning, mereka dapat membuat sebuah refleksi seperti: apa pelajaran/ pengalaman /hikmah/ makna/ kesan/ inspirasi yang saya dapatkan setelah mempelajari materi tersebut? Lalu apa tindak lanjut yang akan saya lakukan setelah mendapatkan pengalaman belajar?
Joyful learning intinya adalah peserta didik terlibat secara aktif baik fisik (hands on) maupun pikirannya (minds on) selama mengikuti pembelajaran. Masalah yang bersifat kontekstual, strategi dan metode pembelajaran yang menarik, serta stimulus yang tepat dan relevan dengan materi yang dipelajari oleh peserta didik dapat meningkatkan minat dan semangat belajarnya. Selain itu, juga membuat peserta didik merasa senang, sehingga aktivitas belajar begitu mengasyikkan bagi mereka. Waktu belajar selama berjam-jam tidak terasa karena peserta didik merasakan belajar menjadi sebuah ”rekreasi akademik” bagi mereka.

Pertanyaan reflektif untuk mengetahui apakah peserta didik sudah atau belum merasakan joyful learning misalnya; Apakah saya termotivasi dan semangat dalam mempelajari materi tersebut? Apakah saya terlibat secara aktif (hands on dan minds on) selama pembelajaran? Dan apakah pembelajaran yang saya lakukan/ikuti menjadi  pengalaman yang menyenangkan bagi saya? 
Implementasi 3 pilar deep learning dalam pembelajaran memerlukan guru yang kreatif, inovatif, dan out of the box. Guru yang mau keluar dari zona nyaman dan mau mencoba hal-hal baru agar pembelajaran benar-benar berpusat kepada peserta didik. Lingkungan pembelajaran yang kondusif, pemanfaatan beragam sumber belajar, dan beragam media ajar juga akan menjadi faktor pendukung pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Hal yang tidak kalah penting adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik juga cukup berpengaruh terhadap terciptakannya pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.

Untuk lebih memperjelas implementasi deep learning dalam pembelajaran, saya gambarkan pada contoh di bawah ini.

Contoh materi : Manfaat air dalam kehidupan.
- Mindful learning

Aktivitas Pembelajaran:
Siswa diperkenalkan konsep air, proses terjadinya hujan, sumber-sumber air, hutan sebagai penyimpanan air, manfaat air dalam kehidupan, penyebab krisis air, dampak jika di bumi tidak ada air, dll.

Dampak:
Peserta didik mengetahui dan memahami konsep air, sumber air, manfaat air, dampak krisis air, cara menghemat air, dll.

- Meaningful learning

Aktivitas Pembelajaran:
Berdasarkan konteks/stimulus (kasus/berita yang disampaikan oleh guru), guru mengajak siswa untuk berdiskusi terkait pentingnya menjaga lingkungan agar air tetap tersedia, bencana banjir yang ditimbulkan oleh air yang tidak terserap oleh tanah, hidup hemat air, manfaat menanam pohon, dll.

Dampak:
Muncul dalam hati peserta didik pemahaman, semangat, kesadaran, dan komitmen untuk memelihara lingkungan untuk melestarikan air, hemat air, dll.
Pemahaman bermakna didapatkan melalui aktivitas berpikir kritis, kontekstual, dan reflektif.

- Joyful learning

Aktivitas Pembelajaran:
Peserta didik praktik membuat proyek alat penjernih air, pembelajaran menggunakan media air, pembelajaran dengan setting alam/lingkungan, dll.

Dampak:
Melalui pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna, peserta didik memahami pentingnya air dalam kehidupan manusia.

Model/Strategi/Metode /Media Pembelajaran:
CTL, STEM, pembelajaran konstruktivisme, pendekatan saintifik, LOTS, HOTS.
Inquiry, discovery, studi kasus, praktik, eksperimen, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, demonstrasi, simulasi, diskusi, ceramah, tanya jawab, dll.

Media Pembelajaran:
Artikel, berita, dokumen, gambar, video, model, atau benda-benda yang relevan dengan materi yang dipelajari.

Demikian gambaran implementasi implementasi 3 pilar deep learning dalam pembelajaran. Contoh di atas dapat diadaptasi dan disesuaikan dengan materi pelajaran masing-masing. Masih juga dapat dikembangkan oleh para guru sesuai dengan kondisi, karakteristik materi pelajaran, karakteristik peserta didik, dan kebutuhan di lapangan. Implementasi pendekatan deep learning merupakan sebuah ikhtiar untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Namun, dibalik apapun pendekatan yang dilakukan, mengajar disertai hati dan passion merupakan hal yang sangat fundamental dalam sebuah pembelajaran yang menyenangkan dan berpihak pada peserta didik. Wallaahu a’lam

MENYOAL DEEP LEARNING
Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Saat ini sedang trending informasi terkait dengan “kurikulum deep learning”. Istilah deep learning muncul saat Mendikdasmen Abdul Mu’ti berbincang-bincang santai dengan sekelompok pemuda atau mahasiswa di sebuah ruangan. Pada video yang beredar di media Tik Tok itu, Pak Mu’ti menjelaskan terkait pengertian dan karakteristik deep learning, mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning sebagai upaya meningkatkan mutu pembelajaran yang digagasnya. 

Konsep deep learning sudah muncul sejak tahun 1980-an dan diteliti lebih lanjut  seiring berkembangnya teknologi dan informasi tahun 90-an. Deep learning adalah cabang dari kecerdasan buatan (AI) dan machine learning yang memanfaatkan neural network multiple layer untuk menyelesaikan tugas dengan ketepatan tinggi. (Pengantar Dasar Deep Learning karya Rometdo Muzawi, 2024:29). Penerapan deep learning pada komputer memungkinkan untuk mengolah data serupa dengan cara kerja otak manusia.

Pasca video tersebut beredar di media sosial, lalu muncul isu atau anggapan di masyarakat bahwa kurikulum merdeka akan diganti dengan kurikulum deep learning.  Dalam beberapa kesempatan, Pak Mu’ti menyampaikan bahwa deep learning (pembelajaran mendalam) bukanlah kurikulum, tetapi pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami sebuah materi ajar secara mendalam. Bisa saja materi yang dipelajari siswa sedikit, tetapi pemahamannya terhadap materi tersebut mendalam, sehingga mereka benar-benar menguasainya. 

Deep learning ditunjang oleh  3 pilar, yaitu mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Mindful learning yaitu pembelajaran yang mengaktifkan siswa, fokus pada proses belajar, dan membangun kemampuan berpikir kritis siswa.  Meaningful learning, yaitu pembelajaran yang bermakna. Dalam hal ini siswa belajar tentang suatu hal bukan hanya secara teoretis saja, tetapi juga secara praktis, mengalami secara langsung, dan bersifat kontekstual. Siswa bukan hanya tahu materi ajar, tetapi juga paham dan memiliki kesan yang mendalam, sehingga mereka memiliki memori jangka panjang terkait dengan materi yang telah dipelajarinya.

Sedangkan joyful learning, yaitu pembelajaran yang menyenangkan. Maksud dari menyenangkan dalam hal ini adalah bukan pembelajaran yang isinya didominasi oleh permainan atau ice breaker yang membuat siswa tertawa dan bersenang-senang, tetapi siswa merasa senang terhadap proses belajar yang telah dilaluinya. Belajar menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan bagi mereka. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran guru dalam menciptakan suasana yang menyenangkan tersebut.

Terkait dengan isu pergantian kurikulum merdeka, Pak Mu’ti menegaskan bahwa belum ada pergantian kurikulum. Kurikulum yang berlaku saat ini masih kurikulum merdeka. Walau demikian, Kemdikdasmen saat ini sedang melakukan kajian dan evaluasi terkait dengan kurikulum merdeka melalui masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan para ahli.

Pernyataan Pak Mu’ti hanya terkait deep learning sebagai sebuah teori dan pendekatan pembelajaran menjadi sebuah pemantik yang masih perlu dibedah dan didiskusikan lebih lanjut. Deep learning secara teknis operasional harus lebih dijabarkan dalam strategi dan metode pembelajaran. Jangan sampai para guru menjadi bingung dengan istilah tersebut. 

Jika ditelaah dari sisi konsep dan paradigmanya, deep learning mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centre), memperhatikan keberagaman kemampuan dan karakteristik siswa (pembelajaran berdiferensiasi), pembelajaran yang bersifat kontekstual, pendekatan konstruktivisme, pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), membangun kemampuan berpikir kritis (critical thinking), membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS), dan menerapkan pendekatan saintifik melalui pembelajaran inquiry, discovery, eksperimen, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis proyek. Intinya, siswa diberikan kesempatan yang luas dan leluasa untuk mengamati, mengeksplorasi, menganalisis, dan mengambil kesimpulan dari materi yang dipelajarinya.

Masih rendahnya kemampuan literasi sebagian besar siswa dan kemampuan didaktik-metodik guru yang beragam menjadi tantangan dalam mengimplementasikan deep learning. Deep learning sebagai konsep yang abstrak perlu dikonkritkan melalui penjelasan dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh guru. Apakah nantinya deep learning menjadi kerangka pemikiran perubahan kurikulum pendidikan? Kita tunggu saja perkembangannya dengan tetap berpikir optimis dan konstruktif.

GURU JANGAN GAGAP MENYIKAPI EUFORIA DEEP LEARNING

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Saat ini wacana deep learning (pembelajaran mendalam) menjadi trending topic di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Di media sosial pun berseliweran konten terkait dengan hal ini. Bahkan sempat muncul minkonsepsi bahwa deep learning akan menjadi kurikulum merdeka. Ramainya wacana ini dipantik oleh video obrolan Mendikdasmen Abdul Mu’ti dengan beberapa orang terkait pendekatan deep learning  yang rencananya akan diimplementasikan dalam menningkatkan meningkatkan mutu pembelajaran di masa kepemipinannya. Potongan obrolannya pun kemudian beredar di media sosial.

Pascaramainya wacana deep learning, dinas Pendidikan, satuan Pendidikan, organisasi  profesi guru, dan komunitas pendidikan  ada yang melakukan respon cepat, menindaklanjutinya dengan melakukan seminar, IHT, atau workshop terkait deep learning. Dalam perkembangannya Pusat Kurikulum dan Pembelajaran  (Puskurjar) Kemendikdasmen pun mengedarkan paparann singkat terkait deep leraning. Soft copy-nya sudah banyak beredar di grup-grup WA. Paparan tersebut hanya sebuah langkah awal, tentu ke depannya perlu ada sosialisasi, pelatihan, dan panduan teknis yang lebih jelas terkait deep learning agar bisa dipahami dengan mudah oleh para guru.

Di tengah euforia terkait deep learning, cukup banyak guru yang sepertinya gagap dalam menyikapinya. Seolah “kebijakan” ini harus dilaksanakan pada semester ini. Mereka mengaku bingung bagaimana harus mengimplementasikannya dalam pembelajaran. Apalagi dengan menggunakan istilah asing (Bahasa Inggris), deep learning dianggap sebagai barang baru. Apalagi saat mendengar pilar-pilarnya seperti mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Dalam pikirannya, mungkin guru yang bertanya “pembelajaran seperti apa lagi ini?”

Deep learning sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Hal ini sudah sejak lama dibahas. Lalu, mengapa saat ini terkesan menjadi euforia?  Salah satu karakter masyarakat kita adalah kadang gagap dan gelagapan dengan sebuah hal atau kebijakan  baru. Teori ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Diantaranya dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Marton dan Saljo tahun 1976. Artikel tersebut membahas teori pembelajaran mendalam dan pembelajaran dangkal. Kemudian teori experiential learning (Kolb, 1984) yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman yang meliputi refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen. Lalu ada buku yang berjudul Deep Learning Engage the World Change to the World yang ditulis oleh Michael Fullan, Joanne Quinn, dan Joanne McEachen tahun 2018. 

Kajian deep learning semakin berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan, sehingga deep learning seolah identik dunia teknologi. Saya melihat bahwa deep learning yang disampaikan oleh Pak Mu’ti bukan berorientasi dalam implementasi di dunia teknologi, tetapi lebih fokus kepada implementasinya dalam pembelajaran. Oleh karena itu, muncul tiga pilar penopang deep learning yaitu; 1) mindful learning (belajar penuh dengan kesadaran), 2) meaningful learning (belajar bermakna/mengambil makna dari materi yang dipelajari), dan 3) joyful learning (belajar dengan menyenangkan/ belajar aktif, partisipatif, kooperatif, kolaboratif).

Pada praktiknya, deep learning dengan ketiga pilarnya tersebut disadari atau tidak, guru sudah melaksanakannya dalam pembelajaran. Hanya tidak tahu atau atau tidak sadar hal tersebut adalah deep learning. Saat guru melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, menyampaikan materi, melakukan tanya jawab, mengarahkan siswa berdiskusi, presentasi, menganalisis, mengevaluasi, memecahkan masalah, menyusun dan menyelesaikan sebuah proyek. Hal itu sudah mindful learning. Dengan demikian, mindful learning adalah pembelajaran yang mengaktifkan siswa, fokus pada proses belajar, dan membangun kemampuan berpikir kritis siswa.

Saat siswa memahami, kemudian mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan kondisi nyata dalam kehidupannya (kontekstual), mampu menyimpulkan, merefleksi, dan mengambil hikmah atau makna dari materi yang dipelajari, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sudah sudah meaningful learning. Dengan demikian, meaningful learning  adalah pembelajaran yang mengarahan siswa belajar dan mengambil makna dari pengalaman secara kontekstual. 

Saat siswa termotivasi untuk belajar, merasa senang dan gembira selama pembelajaran, berpartisipasi secara aktif dalam diskusi, aktif dalam kerja kelompok, mau bertanya, mau menjawab pertanyaan dari guru atau temannya, lalu menanggapi jawaban dari guru atau temannya secara antusias. Hal itu sudah joyful learning. Dengan demikian, joyful learning adalah belajar menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga dan berkesan bagi mereka. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran guru dalam menciptakan suasana yang menyenangkan tersebut.  Guru mampu menghidupkan suasana belajar yang kondusif dan positif. Terbangun chemistry dan hubungan positif antara guru dan siswa.

Deep learning (pembelajaran mendalam) bukan kurikulum, tetapi sebuah alternatif pendekatan pembelajaran yang berpusat pada murid. Oleh karena itu, sebagai sebuah pendekatan pembelajaran, deep learning tidak dikaitkan dengan kurikulum tertentu. Deep learning bisa diintegrasikan atau bisa diimplementasikan pada kurikulum apapun. Sejak zaman CBSA, KTSP, K-13, dan saat ini kurikulum merdeka, deep learning bisa dilakukan. 

Begitu pun hal-hal yang pernah menjadi trending topic seperti CTL, STEM, pendekatan saintifik, HOTS, pembelajaran berdiferensiasi, dll. Hal-hal tersebut tidak identik dengan "milik" kurikulum tertentu. Semua bisa dilakukan pada berbagai label kurikulum. Mengapa? Karena kurikulum hanya sebuah "alat" dalam pembelajaran. Dan pemanfataan "alat" tergantung kepada gurunya. 

Berdasarkan kepada hal tersebut, para guru tidak perlu "gagap" terkait dengan ramainya wacana dan rencana implementasi deep learning dalam pembelajaran. Lakukan saja pembelajaran seperti biasanya sesuai dengan gaya mengajar guru. Yang penting guru mengajarnya menyenangkan, murid betah belajar bersama gurunya. Mengapa? Karena mengajar pada hakikatnya adalah sebuah seni.

Guru pun tidak perlu gelagapan dalam mengimplementasikan deep learning. Deep learning orientasinya memang mengarahkan kepada kemampuan berpikir (kognitif) tingkat tinggi (HOTS/ Higher Order Thinking Skills) yaitu menganalisis (C-4), mengevaluasi (C-5), dan mencipta (C-6). Walau demikian, guru tidak selalu langsung menerapkannya. Guru harus menyampaikan materi dari dasar dahulu agar siswa tidak mengalami kesulitan. Apalagi, jika siswanya ada yang kemampuan awalnya rendah. 

Sebelum masuk ke deep learning (pembelajaran mendalam), guru sebaiknya mengawalinya dengan surface learning (belajar dari permukaan/awal) atau kemampuan berpikir (kognitif) tingkat rendah (LOTS/ Lower Order Thinking Skills) yaitu mengetahui (C-1), memahami (C-2), dan mengaplikasikan (C-3). Siswa belajar secara bertahap sebagaimana mengacu pada Taksonomi Bloom. 

Dengan demikian, deep learning jangan dijadikan beban baru bagi guru karena hal tersebut mungkin sudah bahkan sedang dilakukan oleh guru saat ini di kelas. Tinggal dipahami lebih lanjut konsep dan implementasinya agar tidak terjadi miskonsepsi.

21 PANTUN PEMBELAJARAN MENDALAM (DEEP LEARNING)

Karya IDRIS APANDI

1
Bulan bersinar di waktu malam
Bertabur bintang pancarkan cahaya
Tiga ciri belajar mendalam
Yaitu sadar, bermakna, dan gembira

2
Pergi ke pasar membeli ikan
Lalu dikemas pakai bungkusan
Pembelajaran mendalam dilakukan
Tuk hasilkan delapan profil lulusan

3
Di tengah rumah disimpan kursi
Ada juga meja dan lemari
Siswa dapat miliki kompetensi
Bekal sukses di kemudian hari

4
Membuat pakaian gunakan pola
Menangkap ikan gunakan jala
Siswa miliki akhlak mulia
Yang berkarakter Pancasila

5
Sungguh indah suasana malam
Terang berhias cahaya rembulan
Siswa belajar dengan mendalam
Tak hanya berupa hapalan

6
Jalan-jalan ke tangkuban perahu
Di taman tumbuh bunga sedap malam
Siswa bukan hanya sekadar tahu
Tapi belajar sampai paham

7
Pergi ke toko membeli solatif
Solatif digunakan menyambung kertas
Siswa tidak belajar dengan pasif
Tapi secara aktif penuh aktivitas

8
Pergi ke pasar beli ikan teri
Sekalian beli ikan pari
Siswa tak hanya dijejali materi
Tapi diarahkan mencari arti

9
Nelayan berlayar gunakan kapal
Arungi gelombang mancari ikan
Siswa bukan hanya menghapal
Tapi mencari dan menemukan

10
Air dipakai mencuci pakaian
Dibilas, dibersihkan, dan dikeringkan
Siswa bukan hanya mendengarkan
Tapi melakukan dan menemukan

11
Bakso tahu bahannya ikan tenggiri
Udang diolah jadi terasi
Siswa tak hanya tahu teori
Tapi paham, aplikasi, dan refleksi

12
Sinar matahari terasa terik
Enaknya minum es kelapa
Pendekatan belajar yang menarik
Siswa belajar dengan gembira

13
Pergi ke toko membeli solatif
Sekalian dengan kabel listrik
Siswa belajar secara aktif
Melalui cara yang menarik

14
Masuk kantor jangan lupa presensi
Lalu bersihkan meja dan kursi
Bukan hanya guru yang mendominasi
Tapi ajak siswa untuk berdiskusi 

15
Habis hujan tanah pun basah
Badan segar tak lagi gerah
Siswa ditantang selesaikan masalah
Kemampuan berpikir kritis pun terasah

16
Sebuah lagu didendangkan
Dinyanyikan penuh penghayatan
Pembelajaran yang menyenangkan
Dilakukan berbasis pengalaman

17
Sungguh enak kolak buah nangka
Roti dibakar diolesi mentega
Peserta mampu mengambil makna
Melalui pengalaman yang berharga

18
Makan nasi dengan ikan teri
Tambah lalapan dan juga sambal
Siswa mampu pahami materi
Melalui pembelajaran kontekstual

19
Pergi ke toko membeli sandal
Sandal dipakai untuk berjalan
Siswa belajar secara kontekstual
Melalui contoh nyata kehidupan

20
Minum kopi ditambah gorengan
Menu yang cocok untuk sarapan
Siswa tak hanya belajar di ruangan
Tapi juga praktik di lapangan

21
Pergi ke lapang lakukan senam
Joging olah raga yang tidak mahal
Wujudkan pembelajaran mendalam
Melalui guru profesional

ANALOGI DEEP LEARNING DENGAN MENGGUNAKAN PROSES MEMBUAT BAKSO
By. Idris Apandi

Diceritakan suatu hari ada pedagang bakso mendapat pesanan bakso dari seorang pembeli. Di situ tertulis pesan bakso cincang 1 mangkok.

- Mindful Learning (kesadaran)
1) Pedagang mengetahui bahan-bahan dan bumbu bakso. 
2) Pedagang paham cara meracik bahan-bahan bakso.
3) Pedagang bakso sadar bahwa dia harus membuat bakso sesuai dengan yang dipesan pembeli.
4) Pedagang sadar bahwa dia harus membuat bakso dan menata tempat makan bakso dengan memperhatikan kebersihan dan kesehatan.
5) Pedagang sadar bahwa kepuasan pelanggan harus diutamakan.

- Meaningful Learning (bermakna)
1) Pedagang bakso meracik bahan bakso dengan sebaik-baiknya agar pembeli senang dan puas.
2) Pedagang bakso menata tempat makan bakso dengan rapi, bersih, dan nyaman digunakan oleh pembeli.
3) Pelayanan dan prima ucapan terima kasih sangat penting membuat pembeli terkesan dan puas. Pembeli yang puas kemungkinan akan membeli lagi bakso ke yang bersangkutan.

- Joyful Learning (menyenangkan)
1) Pedagang ramah saat melayani pembeli.
2) Pedagang membuat / meracik bakso dengan penuh suka cita.
3) Ucapan terima kasih disampaikan pedagang kepada pembeli atas pesanan baksonya.

PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN ITU SEPERTI APA SIH?

Oleh Idris Apandi
(Praktisi Pendidikan)

Secara umum pembelajaran yang menyenangkan dibayangkan atau ditafsirkan sebagai pembelajaran yang riang gembira penuh suka cita. Guru yang murid tertawa bersama. Selain itu, dalam suasana yang gembira, juga ada hiburan, ada ice breaker, ada adegan jingkrak-jingkrak, menari dan bernyanyi, dan sebagainya. Pandangan ini adalah sebuah keliru/miskonsepsi dan harus diluruskan.  

Pembelajaran yang menyenangkan tidak selalu identik dengan pembelajaran yang penuh dengan hiburan, permainan, atau banyak tertawa terbahak-bahak sepanjang pembelajaran. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang prosesnya ”dinikmati” baik oleh guru maupun oleh murid dari awal sampai dengan akhir. Selama proses pembelajaran berlangsung mungkin saja guru dan murid tertawa, tetapi bisa saja mereka tertawa bukan karena ”menikmati” proses pembelajaran. Bisa jadi penyebabnya hal lain, seperti menertawakan hal lucu di luar konteks pembelajaran. Atau juga mungkin tertawa karena ada temannya yang terpeleset di kelas atau penampilannya memancing untuk ditertawakan.

Dalam pembelajaran yang menyenangkan terjalin interaksi dan komunikasi yang  interaktif antara guru dan murid. Pembelajaran bisa saja berjalan serius tetapi santai dan bermakna. Murid mengikuti pembelajaran dengan fokus dan sungguh-sungguh sehingga tidak terasa waktu pembelajaran dari menit pertama sudah sampai ke menit terakhir. Murid-murid asik melakukan praktik, mengerjakan proyek, atau eksperimen selama pembelajaran. Saat murid berhasil menyelesaikan sebuah proyek dan mendapatkan apresiasi dari guru dan teman-temannya, maka hal ini akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan baginya.

Interaksi dalam pembelajaran bukan hanya antara guru dan murid, tetapi juga interaksi antara murid dengan murid, murid dengan bahan ajar/sumber belajar, dan murid dengan lingkungan sekitar. Jika ada satu saja hal yang kurang berjalan dengan baik, maka pembelajaran akan membosankan.

Pembelajaran yang menyenangkan pun dipengaruhi oleh minat murid terhadap materi pelajaran, penampilan dan cara guru menyampaikan materi, penilaian murid terhadap guru, dan lingkungan tempat belajar. Kalau murid memang berminat pada mata pelajaran tertentu, maka dia semangat belajar. Sebaliknya, jika yang bersangkutan tidak senang terhadap materi tertentu, maka akan sulit terbangun pembelajaran yang menyenangkan.

Lalu bagaimana dengan ice breaker? Apakah ice breaker tidak berguna dalam membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan? Ice breaker tentu saja berguna. Tujuan ice breaker adalah untuk mengondisikan kesiapan belajar murid, memfokuskan perhatian murid, dan mengusir kebosanan. Ice breaker dilakukan hanya pada waktu tertentu saja dan sesuai dengan kebutuhan. Dalam pembelajaran tidak harus selalu ada ice breaker. Karena ice breaker bukan “menu utama” pembelajaran, tetapi hanya “bumbu penyedap” saja. Terlalu sering ice breaker atau ice breaker-nya tidak bervariasi bukan membuat  murid senang, tetapi justru jadi membosankan. Guru yang sering melucu bisa jadi juga justru kurang disukai dan jadi kurang berwibawa di mata murid.

Guru yang menyenangkan di mata murid biasanya secara penampilan rapi, cara menyampaikan materinya menarik dan mudah dipahami, tidak tegang saat menjelaskan materi, tidak jaim, humoris, komunikatif, terbuka untuk tanya jawab atau berdiskusi dengan murid, tidak “pelit” nilai, bijak, dan sebagainya.

Pembelajaran adalah sebuah proses yang kompleks. Mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan bukan hal yang mudah bagi guru. Mengapa? Karena guru berhadapan dengan beragam karakter murid. Cara seorang guru mengajar menurut sebagian murid mungkin menyenangkan, tetapi bagi sebagian lainnya justru membosankan. Oleh karena itu, guru harus menyiasati pembelajaran melalui beragam strategi dan metode.

Kemampuan awal, kondisi fisik dan psikis murid pada saat pembelajaran juga mempengaruhi motivasi dan kegairahan murid selama pembelajaran. Oleh karena itu, asesmen awal sangat diperlukan untuk mengetahui kemampuan awal, kondisi psikologis, dan minat murid terhadap sebuah materi pelajaran. Belum lagi faktor sarana dan lingkungan belajar. Hal ini juga akan mempengaruhi suasana pembelajaran. 

Mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Guru adalah desainer sekaligus aktor yang harus banyak ”berakrobat” saat pembelajaran. Mengajar adalah seni. Sebagai seni, pembelajaran harus dirancang dan dilaksanakan semenarik mungkin bagi murid. Jangan sampai suatu saat murid ditanya apa dan bagaimana pembelajaran yang menyenangkan itu? Mereka menjawab saat gurunya tidak hadir alias jam kosong (jamkos).

KALAU SEKOLAH LIBUR SELAMA RAMADAN, SISWA MAU NGAPAIN DI RUMAH?

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Saat ini diskursus terkait dengan libur (belajar di sekolah) selama bulan ramadan menjadi perbicangan hangat  bahkan memicu pro dan kontra. Libur belajar secara  penuh selama bulan ramadan pernah diberlakukan masa presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu, kebijakan ini tidak memicu pro dan kontra saat ini. Berjalan saja. Tujuan libur sekolah selama bulan ramadan agar siswa yang muslim bisa fokus melaksanakan ibadah puasa. Kondisi fisik yang kadang menurun dan lemah karena berpuasa menyebabkan siswa tidak semangat belajar sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Oleh karena itu, selama bulan ramadan, siswa libur sekolah. Libur di sini maksudnya bukan berarti siswa tidak belajar sama sekali. Tetapi, maksudnya adalah selain siswa yang beragama Islam bisa fokus berpuasa di rumah, tetapi bisa sambil belajar atau mengerjakan tugas dari sekolah/guru.

Pascakepemimpinan Presiden Gusdur, tidak ada lagi kebijakan libur selama sebulan penuh selama bulan ramadan. Pada bulan ramadan, siswa da libur pada hari pertama puasa, lalu melaksanakan kegiatan belajar, mengikuti kegiatan pesantren kilat (sanlat), lalu libur satu minggu jelang idulfitri. Dengan mempertimbangkan kondisi fisik siswa yang berpuasa, jam pelajaran (JP) selama bulan ramadan pun biasanya dikurangi. Misalnya dari 40 atau 45 menit menjadi 30 menit per JP. 

Kegiatan pesantren kilat biasanya dilaksanakan selama beberapa hari. Kadang kelasnya dipisahkan seperti pembelajaran pada umumnya, tapi ada juga yang digabungkan. Bahkan, kadang kegiatan sanlat di sekolah dianggap sebagai kegiatan ”sunnat” oleh siswa, sehingga walau sebenarnya sekolah mewajibkan setiap siswa datang ke sekolah, pada praktiknya tidak semua siswa yang datang. Siswa yang datang ke sekolah pun belum tentu mengikuti sanlat dengan serius. Prinsipnya, yang penting datang dan mengisi daftar hadir. Sanlat yang waktunya hanya beberapa hari terkesan hanya untuk memenuhi keperluan administrasi saja. 

Sekarang muncul lagi wacana terkait libur penuh selama bulan Ramadan. Pemerintah memang belum memutuskan terkait hal ini. Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa saat ini ada 3 usul opsi terkait belajar selama bulan ramadan. Opsi pertama, sekolah diliburkan satu bulan selama ramadan dan siswa mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat. Opsi kedua, sekolah diliburkan beberapa hari di awal dan akhir ramadan dan opsi ketiga adalah, selama ramadan, sekolah tidak libur seperti yang berlaku selama ini. Keputusan akhir terkait hal ini akan diputuskan melalui Surat Edaran (SE) 3 Kementerian yaitu, Mendikdasmen, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pada bulan ramadan istilahnya bukan libur selama ramadan, tetapi pembelajaran selama ramadan. Sebenarnya, bulan ramadan itu sendiri adalah bulan pembelajaran (syahrul tarbiyah). Belajar apa? Belajar berpuasa bagi yang anak-anak/pemula, belajar menahan hawa nafsu, belajar disiplin, belajar ilmu agama, dan belajar hal-hal positif lainnya. 

Belajar di sini bukan dalam artian belajar seperti di sekolah, tetapi belajar arti lebih substantif. Bahkan bulan ramadan bisa menjadi sarana meningkatkan kecakapan vokasional anak dan membangun karakter, seperti belajar membereskan tempat tidur, membersihkan rumah, atau membantu orang tua menyiapkan menu berbuka puasa.

Idealnya, saat bulan ramadan, anak libur sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, orang tua mendampingi dan membimbing anak, tetapi realitanya, saat anak sekolah libur sekolah selama ramadan, orang tua tetap bekerja/ mencari nafkah. Orang tua tidak memiliki waktu mendampingi anak di waktu siang. Kalau pun ada ibu yang tinggal di rumah, tetap direpotkan dengan mengurus rumah dan mengasuh anak-anak lainnya, sehingga peran yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik. 

Belum lagi orang tuanya sendiri tidak tahu atau bingung apa yang harus dilakukan dalam mendampingi anak karena tidak semua orang tua memiliki kemampuan literasi yang baik. Akibatnya, daripada banyak belajar dan banyak tadarrus Al-Qur’an anak lebih banyak main game online atau tidur. Dampaknya, tujuan peningkatan amal ibadah selama bulan ramadan tidak tercapai.

Rasa bosan terjadi jika siswa terlalu libur lama. Penurunan motivasi dan kemampuan belajar pun bisa juga terjadi. Pertanyaan lain yang muncul dari masyarakat jika libur selama bulan ramadan terlalu lama, bagaimana dengan siswa nonmuslim? Apa yang harus mereka lakukan? Apakah kekosongan selama belajar di sekolah diisi juga dengan kegiatan keagamaan sesuai dengan agama mereka? Berdasarkan kepada hal tersebut, maka pemerintah perlu secara bijak memutuskan terkait dengan libur selama bulan ramadan. Dan perlu mencari jalan tengah agar di satu sisi tujuan bulan ramadan sebagai sarana peningkatan keimanan dan ketakwaan kaum muslim bisa tercapai, tetapi di sisi lain, mutu pembelajaran secara akademik bisa terjaga.

GAMBARAN 4 KERANGKA PEMBELAJARAN DEEP LEARNING  MELALUI ANALOGI  “MEMEPES IKAN”

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan) 

Ada 4 kerangka yang digunakan dalam implementasi pembelajaran mendalam (deep learning), yaitu (1) praktik pedagogis, yaitu strategi mengajar yang dipilih guru untuk mencapai tujuan belajar dalam mencapai dimensi profil lulusan. (2) lingkungan pembelajaran, yaitu lingkungan pembelajaran menekankan integrasi antara ruang fisik, ruang virtual, dan budaya belajar untuk mendukung pembelajaran mendalam. 

(3) pemanfataan digital, yaitu pemanfaatan teknologi digital sebagai katalisator untuk menciptakan pembelajaran yang lebih interaktif, kolaboratif, dan kontekstual, dan (4) kemitraan pembelajaran, yaitu membangun hubungan yang dinamis antara guru, peserta didik, orang tua, komunitas, dan mitra profesional.

Guru harus memahami dan melaksanakan 4 kerangka tersebut dengan baik agar deep learning dapat terwujud. Oleh karena itu, untuk membantu guru atau praktisi pendidikan lainnya memahaminya dengan mudah, saya mencoba mendeskrisikannya dalam bentuk analogi “Memepes Ikan”.

Masalah/Cerita Pemantik:
Diceritakan di sebuah rumah tangga, seorang ibu, sebut saja bu Yani senang memasak ikan. Walau demikian, dia memasak ikan dengan hanya menggunakan 1 cara atau pendekatan, yaitu digoreng. Pada awalnya, suami dan anak-anaknya senang dengan ikan goreng buatan bu Yani. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ikan goreng buatannya sudah kurang diminati lagi oleh suami dan anak-anaknya. Mereka merasa bosan karena terus-menerus diberikan ikan goreng. Belum ada variasi cara masak ikan dari bu Yani. Dampaknya, nafsu makan suami dan anak-anaknya pun menurun. Sajian ikan goreng buatan bu Yani tidak lagi menarik bagi mereka.

1. Praktik Pedagogis (Mencari/memunculkan alternatif baru strategi/metode pembelajaran yang efektif):
Melihat hal tersebut, sang ibu pun merasa sedih sekaligus penasaran mengapa ikan goreng buatannya tidak lagi jadi menu pavorit keluarga. Dia pun bertanya kepada suami dan anak-anaknya. Memasak ikannya ingin dengan cara/ pendekatan yang bagaimana supaya mereka kembali semangat makan ikan? Kemudian sang suami menyampaikan bahwa dia dan anaknya-anaknya ingin makan ikan dengan cara/pendekatan baru, yaitu dipepes. Mendengar hal tersebut, bu Yani pun menyanggupinya. Dia akan memasak ikan dengan mengubah cara/pendekatan. Awalnya digoreng akan diubah dengan cara/ pendekatan baru, yaitu dipepes.

2. Lingkungan Pembelajaran (Apa dan bagaimana lingkungan pembelajaran yang mendukung?):
Untuk memasak pepes ikan yang baik, bu Yani memerlukan dapur yang aman dan nyaman. Dapur dilengkapi dengan alat-alat, bahan, dan bumbu yang perlukan untuk memepes ikan sehingga dia bisa memepes ikan dengan baik. Dia pun meminta suaminya memperbaiki kompor yang nyala apinya kurang rata agar  nanti nyala apinya merata saat memanasi wajan yang digunakan memepes ikan.

3. Pemanfaatan Digital (Pemanfataan teknologi digital untuk peningkatan mutu pembelajaran):
Bu Yani menyadari bahwa dia baru pertama kali ini memepes ikan. Dia belum begitu menguasai cara memepes ikan yang baik, tapi dia tidak ingin mengecewakan suami dan anak-anaknya yang ingin makan pepes ikan. Oleh karena itu, dia memanfaatkan perangkat teknologi digital untuk menambah wawasan cara memepes ikan yang baik. Dia mencari informasi dari YouTube, Tik-Tok, atau IG terkait bahan dan bumbu, cara meracik,  dan cara memepes ikan agar lezat, bumbunya meresap, dan empuk sehingga suami dan anak-anaknya menikmatinya hidangan pepes ikan buatannya.

4. Kemitraan Pembelajaran (kolaborasi):
Walau sudah mempelajari cara memepes ikan dari media sosial, tapi dia belum merasa percaya diri. Oleh karena itu, menghubungi temannya, sebut saja Bu Siti, seorang ahli masak pepes ikan. Bu Siti kebetulan punya rumah makan dan menu andalannya adalah pepes ikan. Sang ibu bertanya dan minta dibimbing serta dikirim video bu Siti dengan meracik bumbu pepes ikan. Bahkan bu Yani mengundang bu Siti untuk bersama memasak pepes ikan agar bisa melihat langsung cara meracik bahan, bumbu, dan memepes ikan. Dia tidak merasa malu karena dia sadar bahwa penting baginya menimbu ilmu dari ahli.

Hasil:
Dilandasi semangat untuk belajar cara memepes ikan yang baik, memanfaatkan media sosial, dan bantuan/bimbingan dari bu Siti (coaching/mentoring/kolaboratif), hasilnya, pepes ikan buatan bu Yani lezat, empuk, dan bumbunya meresap. Saat dihidangkan kepada suami dan anak-anaknya, mereka tampak lahap memakannya. Tidak ada daging ikan yang tersisa. Bagian yang tersisa hanya duri-durinya saja. Melihat hal tersebut, bu Yani pun merasa puas dan bersyukur pepes ikan buatannya disukai oleh suami dan anak-anaknya.

Refleksi:
Mengacu kepada cerita di atas, bu Yani telah mengimplementasikan deep learning. Dia mau belajar dan mempraktikkan cara masak ikan melalui cara/pendekatan yang baru, yang awalnya digoreng menjadi dipepes. Dalam konteks deep learning, ini adalah sebuah praktik pedagogis yang baru yang digunakan oleh guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran. 

Bu Yani, selain memiliki semangat belajar yang tinggi, dia juga menggunakan, memanfaatkan, dan mengoptimalkan dapur serta alat dan bahan untuk memepes ikan sehingga dia mampu memepes ikan dengan baik.  Dalam konteks deep learning, ini adalah gambaran bagaimana lingkungan belajar bisa menjadi salah satu elemen pendukung proses pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.

Bu Yani memanfaatkan teknologi digital (Youtube, Tik-Tok, atau IG) sebagai sarana mencari informasi cara memepes ikan dengan baik. Dalam konteks deep learning, selain guru sebagai salah satu sumber belajar, perangkat teknologi menjadi alternatif sumber belajar bagi murid sehingga mereka bisa memahami materi dengan baik, mengaplikasikan konsep atau teori yang dipelajarinya, dan merefleksikannya. 

Bu Yani selain menggunakan teknologi digital untuk belajar memepes ikan, dia pun berkolaborasi dengan ahli, yaitu bu Siti agar bisa memepes ikan dengan baik. Dalam konteks deep learning, inilah yang disebut kemitraan pembelajaran. Guru jangan ragu untuk belajar dan berkolaborasi dengan sesama guru, praktisi pendidikan, atau ahli pada bidang tertentu dalam mendesain rencana pembelajaran, prakti proses pembelajaran,  dan asesmen pembelajaran.

Demikian gambaran 4 kerangka pembelajaran deep learning melalui analogi “Memepes Ikan.” Semoga bermanfaat bagi pembaca.

STRATEGI PENGUATAN LITERASI DALAM DEEP LEARNING

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Pembelajaran mendalam (deep learning) adalah pendekatan pembelajaran yang mengarahkan murid untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) melalui proses pembelajaran yang berkesadaran (meaningful), bermakna (meaningful), dan menyenangkan (joyful). Deep learning menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran (student centre). Murid dikondisikan aktif dan kolaboratif selama proses pembelajaran sehingga mereka bisa memahami, mengaplikasikan, dan merefleksikan materi yang dipelajarinya.

Deskripsi pada paragraf di atas adalah kondisi ideal yang diharapkan muncul dari sebuah pembelajaran. Untuk mewujudkannya, perlu kerja keras guru dalam mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi murid. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah masih rendahnya mutu literasi murid. Kemampuan berpikir kritis hanya bisa muncul saat murid memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki minat yang tinggi ada materi yang dipelajari, dan memiliki wawasan yang tinggi.

Wawasan yang tinggi akan dimiliki jika murid mau dan giat membaca, berdiskusi, dan belajar dari berbagai sumber. Murid berminat dan mau membaca jika sumber bacaan yang ada di perpustakaan atau tempat lain sesuai dengan kebutuhannya. Kemudian, sumber bacaan yang beragam, aktual, dan sesuai dengan kebutuhan murid akan tersedia jika sekolah benar-benar serius mengembangkan program literasi. Program literasi akan berjalan dengan baik jika kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan memiliki semangat dan komitmen yang tinggi untuk mengembangkan budaya literasi. 

Dengan demikian, program literasi di sekolah adalah sebuah sistem yang saling terkait antarelemen dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Deep learning sulit terwujud jika aktivitas literasi dalam pembelajaran masih rendah. Logikanya, bagaimana murid mau menguasai deep learning jika literasi dasar seperi menulis, membaca, dan berhitung (calistung) level bawah saja masih kesulitan?

Guru memegang peranan penting dalam penguatan literasi. Asesmen awal perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan murid dalam literasi dasar. Di media sosial beredar beberapa konten yang menggambarkan kemampuan calistung murid yang rendah bahkan memprihatinkan. Murid SMP atau SMA pun masih ada yang belum bisa membaca dan menulis dengan baik, serta belum bisa menyelesaikan soal hitungan sederhana. 

Hasil PISA Indonesia 2022 diumumkan pada 5 Desember 2023 menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 68 dengan skor matematika 379, sains 398, dan membaca 371. Hal ini menunjukkan bahwa literasi murid Indonesia masih rendah. Masih menjadi sebuah perjuangan berat dan panjang bagi guru dalam mewujudkan deep learning. Oleh karena itu, sebelum guru mengarah kepada deep learning yang berorientasi kepada kemampun berpikir tingkat tinggi, awali dulu surface learning (pembelajaran permukaan) yang bergerak dari kemampuan berpikir tingkat rendah. 

Lakukan asesmen awal (diagnostik) untuk mengetahui dan mengidentifikasi kemampuan awal, kebutuhan belajar murid, kesulitan belajar, dan kondisi psikologis murid. Hasil asesmen awal menjadi dasar bagi guru untuk menentukan titik awal penyampaian materi ajar. Jumlah murid yang banyak akan menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk memberikan materi ajar yang sesuai dengan kemampuan awal murid. 

Bagi murid yang kemampuan awalnya rendah, guru mengajarkan konsep atau materi yang ringan, sederhana, dan konkrit dulu sebelum masuk ke proses belajar materi yang berat, kompleks, dan abstrak. Pada kasus tertentu, proses belajar untuk sampai pada tahap kemampuan memahami saja bukan hal yang mudah bagi guru. Guru harus berkali-kali menjelaskan, mendemonstrasikan, dan mempraktikkan, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kembali materi yang telah dipelajarinya.

Berdasarkan kepada hal tersebut, untuk menguatkan literasi dalam proses belajar, guru diharapkan mampu memvariasikan sumber belajar, bahan ajar, media/alat peraga. Aktivitas literasi jangan hanya dimaknai membaca buku saja, tetapi murid bisa melakukannya melalui beragam sumber, cara, dan media. Menyimak penjelasan guru, presentasi kelompok, menyimak media visual, audio-video, melakukan observasi lingkungan sekolah juga merupakan strategi untuk menguatkan literasi.

Dalam proses belajar, selain guru ceramah, juga memvariasikannya dengan tanya jawab, diskusi, memberi kesempatan kepada murid untuk praktik, melakukan eksperimen, dan menganalisis sebuah masalah serta menyusun langkah penyelesaian masalah. Hal ini bisa memperkuat kemampuan literasi. Dengan menggunakan asesmen formatif, guru memantau perkembangan kemampuan murid. Intinya, penguatan literasi untuk mencapai deep learning harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan awal murid dan melalui beragam cara atau strategi.

APA DAN BAGAIMANA PERAN GURU DALAM IMPLEMENTASI DEEP LEARNING?

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Sebelum saya membahas apa dan bagaimana peran guru dalam pembelajaran mendalam (deep learning), saya terlebih dahulu ingin menyampaikan beberapa catatan. Pertama, murid tidak akan mau belajar dari guru yang tidak disukainya. Kedua, guru dalam mengajar murid harus berdasarkan nilai welas asih atau kasih sayang serta rasa cinta terhadap profesinya. Murid tidak akan mengingat seluruh materi yang diajarkan oleh guru, tetapi akan selalu terkenang terhadap perlakuan guru terhadap mereka. Ketiga, murid tidak peduli seberapa rinci atau tebal RPP atau modul ajar yang dibuat oleh guru, tetapi murid lebih peduli terhadap kehadiran dan cara guru mengajar di dalam kelas.

Pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) menjadi isu yang saat ini banyak didiskusikan di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Pendekatan ini menekankan terhadap proses pembelajaran yang bukan hanya menjadikan murid hapal terhadap materi, tetapi juga mampu memahami, mengaplikasikan, memaknai, dan merefleksikannya. Dengan kata lain, deep learning mengarahkan murid untuk berpikir kritis, analitis, evaluatif, dan reflektif. Pembelajaran yang terjadi bukan hanya pada level berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS) yaitu mengetahui (C-1), memahami (C-2), dan mengaplikasikan (C-3), tetapi juga ke level berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) yaitu menganalisis (C-4), mengevalusi (C-5), dan mencipta (C-6). 

Pada implementasi deep learning, pembelajaran diharapkan dapat berlangsung dengan berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menyenangkan (enjoyful). Mindful maksudnya adalah murid merasakan dirinya hadir di kelas baik secara fisik maupun mental serta siap mengikuti proses pembelajaran. Melalui apersepsi yang dilakukan oleh guru, murid tahu akan apa materi yang akan dipelajari, apa tujuan pembelajarannya, mengapa mereka harus mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, dan bagaimana cara mempelajarinya.

Meaningful maksudnya murid mampu memahami dan memaknai materi pelajaran yang dipelajarinya serta mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata melalui pengalaman belajar. Sedangkan enjoyful, murid merasakan suasana pembelajaran yang menyenangkan melalui beragam metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Perlu digarisbawahi bahwa maksud menyenangkan di sini bukan berarti guru harus banyak melakukan ice breaking, humor, atau permainan yang membuat murid terhibur, tetapi maksudnyas adalah murid dapat mengikuti pembelajaran secara aktif, antusias, fokus, dan bersungguh-sungguh dalam suasana yang nyaman dan gembira. Dengan kata lain, selama dan setelah mengikuti pembelajaran, bagi murid, materinya dapat, senangnya pun dapat.

Guru memegang peran penting dalam implementasi deep learning. Karena sebagus dan sehebat apapun sebuah teori atau sebuah konsep, eksekusinya sangat tergantung kepada guru. Mungkin saja ada guru yang secara substantif telah melaksanakan hal tersebut hanya tidak disebut sebagai deep learning. Hal tersebut dapat dilihat dan dirasakan selama proses pembelajaran dan prestasi belajar murid-muridnya. 

Walau demikian, mungkin saja masih banyak guru yang belum mengimplementasikan deep learning karena keterbatasan wawasan dan keterampilan. Oleh karena itu, momen saat ini perlu dimanfaatkan untuk belajar apa dan bagaimana implementasi deep learning dalam pembelajaran. Sudah cukup banyak tulisan, video, webinar, atau workshop yang membahas hal tersebut. 

Peran guru dalam deep learning antara lain; sebagai salah satu sumber belajar, sebagai fasilitator, mentor, coach, dan asesor/evaluator. Hal yang diharapkan saat ini adalah guru merancang dan mengimplementasikan pembelajaran dengan cara yang mudah dipahami oleh murid. Guru diberikan keleluasaan untuk menentukan strategi pembelajaran, sumber belajar/bahan ajar, media ajar/alat peraga, dan instrumen penilaian baik pada fase prapembelaran, selama pembelajaran (proses), maupun pascapembelajaran. Point pentingnya adalah pembelajaran diharapkan menjadi sebuah proses yang memberikan pengalaman bermakna dan berkesan bagi murid. Dengan kata lain, keberhasilan deep learning kuncinya ada pada kreativitas guru.

Fakta empirik menunjukkan bahwa guru yang kreatif adalah guru yang memiliki jiwa pemelajar, mau keluar dari zona nyaman, berpikir out of the box, dan tangguh dalam mengatasi tantangan. Saya yakin banyak guru yang seperti itu. Tinggal bagaimana guru mempertahankan semangat dan dan motivasi mengajar, serta meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan didukung oleh lingkungan kerja yang kondusif. 

Deep learning merupakan salah satu jenis pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Bisa saja dielaborasi dengan pendekatan lainnya. Guru jangan ragu dalam berinovasi. Hal yang paling penting adalah murid bisa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Wallahu a’lam.

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI UNTUK MENGUATKAN DEEP LEARNING

Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Menggunakan jargon ”Pendidikan Bermutu untuk Semua”, Kemendikdasmen berupaya untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Salah satunya dengan mendorong guru-guru mengimplementasikan pembelajaran mendalam (deep learning). Gaung deep learning sudah memenuhi ruang diskusi di media sosial. Sebagai hal yang baru, tentunya ada yang pro, kontra, bahkan apatis dalam menyikapi hal tersebut.

Deep learning adalah pendekatan pembelajaran yang mendorong murid berpikir bukan hanya hapal materi, tapi mampu memahaminya, mampu berpikir kritis, dan  mampu menyelesaikan masalah dalam suasana pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan. Oleh karena itu, melalui deep learning, kreativitas murid harus terus diasah, dan dikembangkan. Hal ini penting sebagai bekal kompetensi abad 21 dan menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dan sulit diprediksi.

Implementasi deep learning ditopang oleh 3 hal, yaitu; 1) mindful (berkesadaran), 2) meaningful (bermakna), dan 3) enjoyful (menyenangkan). Dalam konteks National Pedagogies for Deep Learning (Michael Fullan, Joanne Quinn, and Joanne McEachen, 2018), hasil yang diharapkan adalah tercapainya 6 kompetensi (6C) global, yaitu 1) Karakter, 2) Kewarganegaraan, 3) Kolaborasi, 4) Komunikasi, 5) Kreativitas, dan 6) Berpikir Kritis. 

Sedangkan dalam konteks Indonesia (Kemendikdasmen), ada 8 kompetensi atau profil lulusan yang diharapkan melalui deep learning, yaitu 1) Keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME, 2) Kewargaan, 3) Penalaran Kritis, 4) Kreativitas, 5) Kolaborasi, 6) Mandiri, 7) Kesehatan, dan 8) Komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, 6 kompetensi global tetap diadposi, ditambah 2 kompetensi khas yaitu keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME karena Indonesia adalah negara yang berfalsafah Pancasila dan kesehatan untuk menyiapkan generasi emas 2045. 

Dalam sebuah kelas, idealnya, setiap murid aktif, bersemangat, dan antusias saat mengikuti proses pembelajaran. Idealanya, dalam proses pembelajaran, ruang kelas ramai, menjadi sarana untuk berdiskusi, berbagi pendapat, mengeksplorasi gagasan setiap murid, dan mengembangkan kreativitasnya, tetapi faktanya kelas kadang sepi. Guru saja yang sibuk menjelaskan materi di depan kelas. Murid hanya duduk dan diam mendengarkan penjelasan guru. Bahkan ada yang terantuk-antuk dan kurang memiliki motivasi belajar. Saat guru menawarkan ada murid yang mau bertanya, hanya ada 1 atau 2 murid yang bertanya, dan biasanya itu-itu saja orangnya. Kalau kondisinya demikian, bagaimana pembelajaran mau deep learning?

Mewujudkan deep learning bukanlah proses yang ujug-ujug. Ada hal yang harus diperhatikan oleh guru. Diantaranya adalah kemampuan awal, kesulitan belajar, minat, dan kondisi psikologis murid. Murid pun memiliki gaya belajar masing-masing. Oleh karena itu, cara dan strategi pembelajaran tidak bisa disamaratakan kepada semua murid. Inilah yang disebut sebagai pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang berpusat pada murid, mempertimbangkan keunikan, gaya belajar, kemampuan awal peserta didik. Oleh karena itu, dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru menerapkan beragam metode, sumber belajar, media, dan asesmen. Hal ini memang tidak mudah. Salah satu tantangannya, misalnya jumlah murid yang banyak dan beragamnya kebutuhan belajar murid. 

Berdasarkan hal tersebut, maka asesmen awal (diagnostik) menjadi hal perlu dilakukan oleh guru. Tujuannya untuk mengetahui dan mengidentifikasi kondisi serta kebutuhan belajar murid. Dari hasil asesmen diagnostik tersebut, guru dapat menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan.

Asesmen diagnostik terdiri dari dari asesmen diagnostik kognitif dan asesmen diagnostik nonkognitif. Asesmen diagnostik kognitif tujuannya untuk mengetahui dan mengidentifikasi kemampuan awal dan kesulitan belajar murid. Instrumen yang digunakan misalnya pre tes, tanya jawab, atau kuis. 

Asesmen nondiagnostik bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi kondisi psikologis dan latar belakang murid. Instrumen yang bisa digunakan misalnya wawancara dengan yang bersangkutan, wawacara dengan orang tua/wali murid, studi dokumentasi, atau observasi. Dalam melakukan asesmen diagnostik nonkognitif, guru kelas atau guru mata pelajaran dapat bekerjasama dengan guru BK atau wali kelas.

Guru menyusun desain pembelajaran berdasarkan hasil asesmen diagnostik yang kemudian disebut sebagai pembelajaran berdiferensiasi. Strategi pembelajaran berdiferensiasi terdiri 4 jenis, yaitu; 1) diferensiasi konten, 2) diferensiasi proses, 3) diferensiasi produk, dan 4) diferensiasi lingkungan belajar.

Diferensiasi konten yaitu guru menyajikan materi melalui beragam konten disesuaikan dengan gaya belajar murid (visual, audio, kinestetik) seperti audio, video, visual, atau audio visual. Murid dengan gaya belajar visual lebih tertarik dengan materi yang disajikan dalam bentuk gambar, grafis, atau video. Murid dengan gaya belajar audio lebih senang mendengarkan suara, rekaman, atau penjelasan dari guru secara langsung. Walau melihat media audio-video, suara video sangat membantu yang bersangkutan untuk lebih memahami materi. Sedangkan murid dengan gaya belajar kinestetik lebih senang belajar melalui gerakan, praktik, bermain peran, simulasi, dan sebagainya.

Pada diferensisasi proses, guru menerapkan beragam strategi dan metode pembelajaran saat menyampaikan materi pelajaran mengingat beragamnya gaya belajar dan minat murid dalam mempelajari. Di sinilah kreativitas guru diuji dalam memberikan layanan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid.

Pada diferensiasi produk, guru menyampaikan materi yang sama kepada murid, tetapi memberikan penugasan produk yang beragam. Misalnya, saat guru menyampaikan materi keaneragaman hayati, bentuk tugas atau produknya, misalnya, murid membuat makalah tentang flora dan fauna, membuat deskripsi atau video profil tumbuhan atau hewan tertentu, membuat grafis keanekaragaman hayati, membuat video tentang flora atau fauna tertentu, presentasi pengalamannya saat menanam atau memelihara hewan tertentu, dan sebagainya. Intinya, walau bentuknya beragam, tetapi produk yang dibuat oleh murid menggambarkan pemahamannya tentang materi pelajaran.

Pada diferensiasi lingkungan belajar, guru dapat melaksanakan pembelajaran di dalam ruang kelas, di luar kelas, mengajak peserta didik untuk mengobservasi lingkungan, atau berkunjung ke tempat tertentu. Selain itu, pembelajaran bisa dilakukan secara tatap muka (luring), tatap maya (daring), atau kombinasi tatap muka dan tatap maya (hybrid).

Mengingat beragamnya kemampuan murid, walau konten materi yang dipelajari murid sama, tetapi guru tidak bisa mengawali dari start yang sama. Tergantung hasil asesmen diagnostik. Materi yang mudah menurut murid tertentu belum tentu menurut murid yang lainnya. Oleh karena itu, waktu pencapaian deep learning setiap murid berbeda-beda. Pada tahap ini, selain kreativitas, guru juga memerlukan kesabaran dan ketelatenan dalam menyampaikan materi. 

Asesmen formatif perlu dilaksanakan dengan optimal. Sifat asesmen formatif sebagai bagian dari proses pembelajaran (assessment as learning) dan sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu pembelajaran (assessment for learning). Dengan demikian, penguatan kemampuan guru dalam pembelajaran berdiferensiasi akan sangat membantu dan mendukung implementasi deep learning.
DESAIN PEMBELAJARAN MENDALAM YANG MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI DAN MENGUATKAN LITERASI DAN NUMERASI

Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Saat ini pembahasan terkait pembelajaran mendalam (deep learning) sedang menjadi trending topic dan hot issue di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak lepas dari wacana dan rencana Kemendikdasmen untuk mengimplementasikan deep learning dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran. 

Deep learning adalah pendekatan pembelajaran yang mengarahkan murid bukan hanya menghapal materi, tetapi juga mampu memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, sampai membuat sebuah produk atau karya melalui pembelajaran kontekstual dengan menggunakan beragam model serta metode yang pembejaran yang relevan. Dengan kata lain, deep learning berorientasi kepada proses pembelajaran yang membangun kemampuan berpikir kritis dan berpikir tingkat tinggi melalui pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi peserta didik dengan ditopang oleh tiga pilar, yaitu mindful learning (pembelajaran berkesadaran), meaningful (pembelajaran bermakna), dan enjoyful (pembelajaran menyenangkan). Pengalaman belajar yang diharapkan didapatkan oleh murid mulai dari memahami, mengaplikasikan, hingga merefleksikan materi yang telah dipelajarinya.

Untuk melaksanakan proses pembelajaran yang mencerminkan deep learning, hal yang pertama perlu dilakukan oleh guru adalah mendesain pembelajarannya. Oleh karena itu, saya mencoba membuat contoh desain pembelajaran deep learning yang mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggai menguatkan literasi dan numerasi.

- Contoh Materi: 
Buah Jeruk dan Manfaatnya dalam Kehidupan.

- Capaian Pembelajaran:
Murid dapat mengenal dan memahami ciri-ciri, jenis, manfaat buah jeruk dalam kehidupan. Murid dapat mengolah buah jeruk menjadi makanan atau minuman. Murid dapat membuat produk dari tema buah jeruk dan memanfaatkan sampah dari kulit buah jeruk.

- Tujuan Pembelajaran:
1. Murid dapat mengenal ciri-ciri dan bagian-bagian buah jeruk.
2. Murid dapat mengetahui dan membedakan jenis-jenis/nama-nama buah jeruk.
3. Murid dapat menjelaskan kandungan gizi manfaat buah jeruk untuk tubuh.
4. Murid dapat menyebutkan/ memberikan contoh jenis-jenis makanan dan minuman olahan dari buah jeruk.
5. Murid dapat membuat makanan atau minuman olahan dari buah jeruk.
6. Murid dapat membuat produk, kerajinan/ prakarya dengan tema buah jeruk atau sampah kulit buat jeruk.
Murid mengetahui dan mempraktikkan cara menanam jeruk.


- Media:
Gambar/video buah jeruk, model buah jeruk, atau buah jeruk asli.

- Sumber belajar:
Buku, artikel, gambar, video terkait buah jeruk, dan lingkungan sekitar sekolah/ tempat tinggal murid.

- Metode:
Ceramah, tanya jawab, diskusi, observasi, praktik, pemodelan, bermain peran, dan proyek.

- Mindful learning (Berkesadaran):

1. Guru menyampaikan beberapa pertanyaan kepada murid, misalnya:
a. Siapa yang tahu nama buah ini? (sambil memperlihatkan gambar atau video buah jeruk).
b. Siapa yang suka makan jeruk? 
c. Mengapa kalian suka makan buah jeruk?
d. Vitamin apa yang terdapat pada buah jeruk?
e. Siapa yang tahu manfaat buat jeruk untuk kesehatan tubuh?
f. Siapa yang di rumahnya ditanami buah jeruk? Kalau ada yang ditanami, jenis buah jeruk apa yang ditanam, dll.

2. Guru menjelaskan materi perihal buah jeruk (ciri-ciri, jenis-jenis, bagian-bagian buah jeruk, cara menanam buah jeruk, kandungan vitamin pada buah jeruk, pengolahan buah jeruk, manfaat buah jeruk untuk tubuh, dll.) dengan divariasikan dengan tanya jawab, diskusi, observasi, dll.
3. Guru membimbing murid menyimpulkan atau merefleksikan materi pelajaran.

- Meaningful learning (bermakna)

1. Murid mengamati dan mengidentifikasi ciri-ciri buah jeruk yang dibawa oleh guru/murid atau memanfaatkan gambar/video. Bisa juga mengamati pohon jeruk yang sedang berbuah di lingkungan sekolah (jika ada).
2. Murid menonton video cara menanam dan memelihara pohon buah jeruk, serta cara memanen buah jeruk.
3. Murid mengidentifikasi dan mengamati bagian-bagian buah jeruk dan pemanfaatannya untuk beragam makanan, minuman, dan masakan.
4. Murid mengenal makanan dan minuman olahan dari buah jeruk.
Murid mengenal cara mendaur ulang/ mengolah sampah dari buah jeruk (misalnya pemanfaatan kulit jeruk untuk kompos, dll).

- Joyful learning (menyenangkan):

1. Murid menanam buah jeruk di halaman sekolah atau di rumah masing-masing. 
2. Murid praktik membuat makanan atau minuman olahan dari buah jeruk (melatih kreativitas).
3. Murid menggambar, membuat lagu, bernyanyi, atau puisi terkait buah jeruk. (melatih kreativitas).
4. Guru membimbing murid untuk membuat prakarya dari sampah kulit jeruk (jeruk jenis tertentu), dll. (melatih kreativitas).
5. Murid bermain peran praktik jual-beli buah jeruk (melatih komunikasi dan kewirausahaan).


- Isu/ masalah kontekstual yang dijadikan pemantik tanya jawab/diskusi/curah pendapat:
Buah jeruk memiliki gizi yang baik untuk tubuh. Buah tersebut banyak disukai masyarakat dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

- Pengembangan kemampuan berpikir kritis (critical  thinking)/ berpikir tingkat tinggi (HOTS/Higher Order Thinking Skills):

1. Murid ditanya apa saja ciri dan jenis-jenis buah jeruk.
2. Murid mencari informasi karakteristik tanah atau wilayah yang cocok untuk menanam buah jeruk.
3. Murid mencari informasi manfaat buah jeruk untuk kesehatan tubuh.
4. Murid diberi kasus buah jeruk yang busuk. Lalu diminta untuk mencari penyebabnya dan cara menghindari buah jeruk cepat busuk.
5. Murid diajak untuk mencari informasi cara membuat  kerajinan/ prakarya dari sampah kulit jeruk (jenis jeruk tertentu), dll.

- Penguatan literasi dan numerasi:

Literasi:
1. Murid membaca informasi terkait buah jeruk dari beragam sumber belajar.
2. Murid mengamati bagian-bagain buah jeruk.
3. Murid mengobservasi lingkungan yang sesuai untuk ditanami buah jeruk, dll.

Numerasi:
1. Murid mengurutkan bagian-bagian jeruk dari bagian luar hingga bagian dalam.
2. Murid menghitung jumlah bagian (isi) pada satu buah jeruk.
3. Murid menakar/ menghitung jeruk yang akan digunakan untuk campuran makanan atau minuman.

- Jenis dan bentuk Asesmen:

Jenis Asesmen: diagnostik, formatif, sumatif.
Bentuk instrumen asesmen: pertanyaan, observasi, dan praktik/produk.

Diagnostik:
- Murid ditanya pengetahuan atau pemahaman awalnya terkait buah jeruk dan pemanfaatannya.
- Murid ditanya pengalamannya makan buah jeruk.

Formatif (dalam proses pembelajaran):
- Guru melakukan tanya jawab (lisan) dan  diskusi dengan murid. 
- Guru memantau dan mengamati pemahaman murid terkait manfaat buah jeruk dan pemanfaatannya. 
- Guru memberikan umpan balik untuk menguatkan pemahaman atau meningkatkan kemampuan murid.

Sumatif:
- Guru membuat soal / pertanyaan sesuai dengan tujuan pembelajaran telah ditetapkan.
- Guru meminta murid untuk praktik atau membuat produk yang berkaitan dengan materi buah jeruk dan pemanfaatannya.

Jenis dan bentuk asesmen disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan relevansinya.

Pada proses pembelajaran, aktivitas mindful, meaningful, dan joyful tidak dilakukan terpisah, tetapi pada praktiknya dapat dilakukan secara bersama-sama, terintegrasi, dan terpadu disesuaikan dengan alur/ skenario pembelajaran yang digunakan oleh guru. Skenario pembelajaran di atas dapat diadaptasi atau dikembangkan pada model pembelajaran yang relevan atau sesuai dengan kebutuhan.

Semoga contoh desain di atas dapat membantu guru yang memerlukannya. Contoh di atas bukan hal yang fix dan terbaik, tetapi masih bisa dikembangkan oleh para guru. Kemendikdasmen pun diharapkan segera membuat pedoman teknis pembelajaran dan penilaian deep learning.  Selamat membuat desain deep learning yang sesuai dengan kebutuhan.
  1. Pembelajaran Mendalam lihat
  2. Implementasi Deep Learning dalam Pembelajaran Karakter lihat
  3. Contoh 3 pilar deep learning lihat
  4. Miris pendidikan dalam numerasi lihat
  5. Buku Deep Learning lihat
  6. Kapan deep learning digunakan dalam pembelajaran link
  7. Deep Learning lihat
  8. Pembelajaran mendalam lihat
  9. Mencoba dan Mengenal Pembelajaran Mendalam lihat
  10. Contoh Skenario Pembelajaran Mendalam lihat
  11. 70 Pantun Pembelajaran Mendalam lihat 
  12. Canva Pemebelajaran Mendalam lihat ; lihat2 ; lihat3 
  13. Refleksi Pembelajran Mendalam lihat1; ;lihat2

Related Posts

Pembelajaran Mendalam
4/ 5
Oleh
Add Comments


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)